Zaza paling benci matematika | Punya cita-cita jadi Public Relations dan Presenter | Labil, Sensitive | Pendek, Pesek| Suka frappucino, yoghurt topping kiwi, dan J.Co baby | CENGENG! | Suka bangeeeettt makan Iga | Bikin blog sejak akhir 2010. Sejak bingung mau curhat dimana | Reader, Writer, and Recomender | CEREWET | Tukang ghibah :O

Senin, 26 September 2011

Senja itu...

INI SALAH SATU LITERATURE YANG PALING GUE SUKA!!! INI VERSION DARI 'JDS SERIES'. INI UDAH LEBIH DARI 15 HALAMAN, TAPI GUE KENA WRITER'S BLOCK!!!!! AAAAAAAAAAAA PADAHAL GUE PENGEN BET NYELESEINNYAAAAAA ;( 



“Ari.....” Tari tersenyum girang saat melihat sebuah tangan melambai ke arahnya. Dengan setengah berlari, Tari menghampiri cowok jangkung yang tak henti-hentinya melambaikan tangan kearahnya.
“Tari...” Ari langsung memeluk cewek itu begitu Tari berada persis di hadapannya. Tari masih sama seperti yang dulu. Tubuh mungilnya, rambut panjangnya, senyum manisnya, dan tak lupa accesories bernuansa oranye. Tari masih seperti Tari yang dulu. Ia masih Tari yang sama. Ia masih Tari yang membuat Ari bertekuk lutut. Dan ia masih Tari, Matahari yang selalu membuat hari-hari Ari terasa bersinar dan penuh akan makna.
“Seneng banget gue bisa ketemu lo lagi, Tar” Ari mengacak-acak poni Tari. Kebiasaan yang dulu sering dilakukannya tiap kali bertemu dengan Tari.
“Gue juga, Ri. Dua bulan rasanya hidup gue gak normal banget”
Ari terkekeh geli. “Lo kangen sama gue, Tar?”
“Yeeee, ngarep Lo” Tari berkilah. “Maksud gue, udah dua bulan ini hidup gue gak normal, karena biasanya kan tiap hari ada aja ulah lo yang bikin gue naik darah”
Ari merengkuh bahu Tari, lalu membenamkan tubuh mungil itu kedalam dekapannya. Sudah lama sekali ia tak bisa merasakan kehangatan saat Matahari-nya ada dalam peluknya. Sudah lama sekali ia tak merasakan degup jantungnya yang memburu saat ia ada bersama Tari. Sudah lama pula ia tak merasakan hatinya berdesir saat melihat senyum manis milik Tari.
“Gue sayang banget sama lo, Jingga Matahari” bisik Ari halus tepat di cuping telinga Tari, membuat rona merah di wajah Tari semakin semerah buah perssik.

ïïï

“Fi, gue make baju ini pas enggak ya?” Tari memperlihatkan pada Fio mini dress berwarna putih selutut. Malam ini, Ari mengajak Tari untuk dinner di salah satu Caffe terkenal, untuk merayakan kepulangannya dari Amerika. Ari juga mengajak dua antek-antek setianya, Oji dan Ridho. Tak lupa, ia juga mengundang Fio, teman semeja Tari, dan Ata, saudara kembarnya. Dua bulan yang lalu, Ari memang pergi ke Amerika untuk menuruti keinginan sang Mama, yang menginginkan Ari untuk menyelesaikan study-nya di Oregon State University. Ari terpaksa meninggalkan Tari, Mataharinya, demi menuruti keinginan sang Mama. Dan hari ini, Ari kembali lagi ke Indonesia selama tiga hari karena Universitas tempatnya menimba ilmu sedang mengadakan Ujian untuk mahasiswa semester akhir.
“Udahlah, Pede aja. Lo tetep cantik kok” Fio tersenyum geli melihat sahabatnya yang tampak sangat deg-degan dengan acara dinner malam ini.
Tanpa diketahui Tari, Fio juga merasakan hal yang sama seperti Tari. Fio deg-degan karena malam ini ia akan bertemu dengan Oji, orang yang sudah membuatnya hampir mati karena tiap hari jantung Fio harus berdegup 999 kali lebih cepat dari standard normal manusia lainnya. Sama seperti Tari, Fio dulu selalu merasa terkena kutukan dari salah satu panglima tawur SMA Airlangga itu. Setiap kali ada Oji, pasti akan ada gangguan dan intimidasi untuk dirinya. Gangguan yang bahkan terkadang sudah bisa membuat suara Fio melengking 12 oktaf, atau bahkan gangguan itu membuatnya harus menanggung malu. Tapi ternyata, lagi-lagi Tuhan punya rencana lain.
Semakin lama, Fio mulai merasakan ada yang janggal saat matanya tak dapat menemukan Oji dari penglihatannya.
Sama seperti Tari, Fio bahkan mulai bisa merasakan perasaan yang berbeda setiap kali bersama, atau sekedar melihat Oji.

ïïï

Tari dan Fio  melangkah ragu ke dalam ruangan yang dipenuhi lilin itu. Suasana yang amat sangat romantis. Caffe ini sepertinya sengaja memberikan efek romantis, karena di seluruh penjuru ruangan tak ada cahaya lampu sedikitpun. Cahaya caffe itu hanya berasal dari lilin-lilin yang terpajang disetiap meja.
“Tari...” Tari menoleh saat mendengar suara Ari menyebut namanya. Ari setengah berlari menghampiri Tari dan Fio. Ari malam ini tampak sangat keren mengenakan kemeja putih yang lengannya di gulung sampai ke siku. Sangat serasi dengan dress Tari yang juga bernuansa putih.
“Langsung ke outdoornya aja yuk. Gue booking di pinggiran kolam renang. Fi, sori ya. Gue jalan kesananya sama Tari....”
Fio dengan cepat menyela ucapan Ari “Ooh. Gak apa-apa kak. Gue bisa jalan sendiri kok”
Ari tersenyum samar “Gak. Gue udah siapin pangeran buat lo” mata Ari beralih ke salah satu sudut ruangan. Sedari tadi, Tari dan Fio tak sadar ada seseorang yang sedang duduk bersandar disalah satu kursi. Dia adalah Oji.
“Lo sama gue aja, Fi” Oji mengedipkan sebelah matanya kepada Fio, membuat pipi Fio bersemu merah.
“Emmm, Ri. Kayaknya kita berdua ganggu deh. Pergi aja, yuk” Tari menggandeng lengan Ari, lalu menjulurkan lidahnya kearah Fio dan Oji. Belum sampai Fio membalasnya, Ari sudah lebih dulu membawa Tari ke ruangan yang sudah di booking Ari.  Fio dan Oji nampak saling salah tingkah. Fio sedang berusaha menetralkan degup jantungnya yang tak beraturan, sedangkan Oji sedang berusaha menemukan kata-kata yang pas untuk mengajak gadis didepannya mengikuti langkah dua matahari itu.
Hanya dengan senyum, Oji mengulurkan tangannya kepada Fio, tanpa mengucapkan satu kata-pun. Cukup lama Fio bergeming ditempatnya, hingga akhirnya ia menyambut uluran tangan Oji.
Tari pura-pura berdehem saat melihat Fio dan Oji bergandengan tangan menghampirinya “Ehmm. Kayaknya ada yang bentar lagi mau jadian nih”
“Apaan sih, Tar” sangkal Oji.
“Udah deh, Ji. Lo tembak aja si Fio” Ari ikut-ikut menggoda Oji dan Fio, yang tampaknya sangat salah tingkah.
Ridho, yang sedari tadi hanya menahan tawa melihat sahabatnya sedang digoda habis-habisan oleh bos mereka, akhirnya angkat bicara “Ji, lo gak usah pacaran sama Fio deh. Ntar kalo lo sama dia, Ari sama Tari, gue sama siapa doongs book??!” semua yang ada disitu tergelak mendengar joke dari Ridho. Ridho yang terkenal jago taekwondo, tiba-tiba saja bergaya ‘melambai’ seperti yang sedang nge-trand akhir-akhir ini. Jelas saja itu membuat Ari, Tari, Fio, dan Oji terkekeh geli.
“Ck. Lo sama gue aja, Dho” Ata yang baru datang langsung ikut nimbrung dengan joke Ridho.
“Gak, gak. Kalo kata si Bos, Poligami, oke. Tapi kalo homo-homoan, cukup gue sama Matahari Senja” jawab Ridho kalem.
Mereka lalu duduk melingkari meja yang sudah dibooking oleh Ari. Meja itu ada di tepi kolam renang. Di dalam kolam, banyak sekali hiasan-hiasan candle mengapung, memancarkan berbagai macam warna. Namun, warna jingga-lah yang mendominasi candle-candle itu.
Malam itu, baik Ari ataupun Tari merasa bahagia. Sepanjang acara, Ari tak henti-hentinya tersenyum menatap Tari. Juga sebaliknya, Tari juga membalas senyum hangat Ari dengan senyum termanisnya. Tak hanya di bibirnya, tapi juga senyum dimatanya.

ïïï

Tari  membuka matanya saat perlahan-lahan mulai merasakan panas.  Cahaya dari benda langit yang bernama sama dengan dirinya itu menerobos masuk ke pori-pori jendela bermotif matahari di kamarnya. Tari terbangun dari tidurnya. Tak sepenuhnya  nyawanya terkumpul, karena butuh beberapa saat untuk menghilangkan hasratnya kembali memeluk guling kesayangannya yang berwarna oranye itu. Setelah nyawanya benar-benar 100%, Tari melangkah lunglai kedalam kamar mandi pribadi di kamarnya yang penuh dengan nuansa oranye dan full ornamen-ornamen matahari.
“Kak Tari, tadi kak Ari telpon ke rumah, nanyain kak Tari” Tari mengerutkan keningnya mendengar ucapan Geo saat ia baru saja duduk untuk menikmati sarapan paginya.
“Sepagi ini, Ge? Jam berapa?” tanya Tari dengan kening yang masih berkerut.
“Iya, kak. Mmm jam 5 ada kali”
Tari hanya manggut-manggut mengerti, lalu tak bertanya lagi karena sudah serius dengan bahan logistiknya pagi ini. Kemarin, saat dinner bersama Ari dan teman-temannya, Ari mengajak Tari untuk pergi ke sebuah tempat, yang Ari bahkan tak memberitahukan nama tempat itu saat Tari menanyakannya. Mereka tidak berdua, tentu saja. Mengingat dua matahari ini punya banyak ‘followers’, Ari mengajak Oji, Ridho, serta Fio. Sebenarnya, ia juga mengajak Ata. Tapi, Ata menolak dengan alasan ia mau mengerjakan tugas anatomi dari dosennya.
Handphone di saku celana Tari melantunkan alunan lagu ‘Just The Way You Are’ , lagu favoritnya dan Matahari hidupnya. Setelah sekilas melihat nama pemanggil, ia lalu menekan tombol answer.
“Ya, Ri?... Oooh, jadi doong... Jam 4 ya?... Yaudah deh, gue tunggu lo... Me too, Matahari Senja” Tari menutup teleponnya, lalu masih tersenyum mengingat kalimat terakhir dalam pembicaraan mereka. Jantungnya selalu berdegup tak karuan setiap kali mataharinya memanggil dirinya dengan nama itu. Pipinya selalu bersemu merah kala Ari menyuarakan isi hatinya lewat kata-kata rindu. Begitu manis, romantis, dan... selalu membuatnya terbang.  
“Pasti dari kak Ari” tebak Geo menggoda Tari yang sedari tadi senyum-senyum aneh.
“Apaan sih” Pipi Tari semakin bersemu merah karena malu. Kalau ada Ari bersamanya sekarang, dan melihat reaksi Tari, sudah pasti 100% Ari akan mencubit gemas pipi Tari, dan mengacak-acak poninya.
Tari lalu menghabiskan sisa-sisa makanannya, dengan sisa-sisa senyum yang masih tersisa.

ïïï

“Lima menit lagi, sayang.... Iyaaa, semuanya ada kok.... Fio? Dia sama Oji di jok belakang.... Ok” Ari menutup telepon dari Tari, lalu kembali fokus menyetir everest hitamnya. Oji, Fio, dan Ridho berjejer duduk di belakang. Tempat di sebelah Ari sengaja kosong, karena itu tempat khusus untuk Tari. Ari sudah mengancam sedari tadi agar tak ada yang duduk di tempat di sebelahnya. Mereka hanya menuruti sambil menahan geli, terutama Oji yang mati-matian membungkam mulutnya.
Tiiiiiiiiiiinnnnnnn............
Suara panjang klakson mobil Ari membuat Tari langsung berlari keluar rumahnya. Ia memang sangat antusias untuk acara jalan kali ini. Maklum saja, tak lama lagi Ari akan kembali meninggalkannya untuk kembali ke Amerika. Tari, mau tidak mau harus mengikhlaskan kepergian Ari.
“Kok lama banget sih?!” bibir Tari mengerucut lucu setelah mobil melaju beberapa meter dari depan rumahnya. Ari, yang menyempatkan menoleh sebentar pada Tari langsung gemas dengan sikap Tari. Ia ingin sekali mengecup bibir lucu itu. Namun segera ia urungkan keinginannya, mengingat ada banyak saksi mata yang sudah ikut menahan tawa di belakangnya.
“Sudirman tadi agak macet, Tar, jadi lama” Ridho menjawab pertanyaan yang jelas-jelas Tari tujukan pada Ari.
“Dho, lo gak usah kayak gitu dong! Dia cewek gue, kuya! Jadi gini kelakuan lo selama gue pergi ke Amrik??!” Ari pura-pura tersinggung pada Ridho. “Gue sooaakkiiittt hati, Dho. Sakiiiitt rasanya lo kayak gini di belakang gue” Ari melanjutkan joke-nya dengan intonasi yang seolah-olah teramat pahit menerima kenyataan. Semua ‘penghuni’ mobil berbadan besar itu sontak tertawa mendengar ‘improvisasi’ dari Ari. Bahu Tari bahkan sampai terguncang, tak sadar kekasihnya bisa sampai segila itu.
“Lo gak usah se-pias itu, Bos. Gue kaaann siap bos buat di poligami sama lo, kapan aja” si Oji malah makin menanggapi joke dari Ari.
Keruhnya wajah Fio saat mendengar joke Oji, membuat semuanya tertawa geli. Ari sampai tergelak hebat. Laju mobilnya bahkan sempat tak beraturan, karena tangan kanannya memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa.
Tari kembali cemberut. “Gue sama siapa doooonng???!!!” suara manjanya menghentikan tawa ke-empatnya. Ari bahkan bisa mendengar, lebih dari sekedar suara manja, dalam nada suaranya tersirat rasa takut kehilangan Ari. Rasa khawatir kalau suatu saat Ari akan lepas dari dirinya. Rasa cemas kalau suatu saat Ari akan tenggelam, dan tak akan bersinar lagi dihatinya.
Ari menatap Tari serius. Ia tersenyum hangat. Kedua mata hitamnya bertemu dengan sepasang mata coklat Tari yang menyorotkan rasa sayang. “Tenang aja, sayang. Gue Cuma sayang sama lo. Gue selalu ngerasa damai tiap kali lo ada sama gue. Mata lo, bibir lo, senyum lo, semuanya selalu bisa nyemangatin gue di Amrik kalo gue lagi suntuk kuliah.  Cuma lo matahari gue, Jingga Matahari” Ari mengedipkan satu matanya. “Gue mohon banget sama lo, Tar. Cukup gue di hati lo, karena gak adil banget kalo ada orang lain di hati lo, sedang hati, pikiran, perasaan gue Cuma terfokus sama Lo” Ari lalu membalikan badannya, kembali berkonsentrasi dengan mobilnya.
Semua yang ada disitu sontak kaget dengan kata-kata Ari. Terpesona dengan apa yang dilakukan Ari untuk mataharinya. Semua bisa merasakan ketulusan serta keseriusan Ari saat mengatakannya. Bukan hanya kata-kata manis dari bibirnya, tapi itu juga suara perasaan dan hatinya.
Tari melongo. Tak percaya Ari akan mengucapkan kata-kata itu. Terlepas dari predikat mantan pentolan SMA Airlangga, itu adalah Ari yang sebenarnya. Ari yang mencoba jujur dengan perasaannya. Ari yang sudah melepas topengnya setelah pencarian serta penantian panjang itu, dan kembali menjadi dirinya sendiri, Matahari Senja.

ïïï

“Akhirnya sampe jugaaa” Tari langsung menghirup udara segar pegunungan sore hari. Tari memejamkan matanya, menghirup lalu mengeluarkan nafasnya berulang-ulang. Ketika membuka matanya, ia tersenyum mendapati Ari yang berdiri di depannya dengan sorot mata yang hangat.
“Langsung ke sana aja yuk” Ridho mengajak mereka ke saung favorit Ari. Saksi bisu tatkala Ari merasa hancur, atau juga saat Ari bahagia.
“Kak, bantuin dong” pinta Fio pada Oji, saat melewati tanah yang licin karena semalam hujan, sedangkan jalan untuk menuju ke saung itu menanjak dan tak beraturan. Oji dengan sigap langsung memegangi tangan Fio, dan dengan setia menutun Fio. Sikap Oji langsung mendapat reaksi ‘batuk sinteron’ dari Ridho. Oji dan Fio hanya diam. Muka keduanya sudah sama-sama bersemu merah. Oji bahkan sempat meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ciri khas orang salah tingkah. Sedang Fio, ia tak berani menatap Oji. Pada langkah ke 29, mereka akhirnya sampai juga di saung favorit Ari itu. Mereka duduk berjejer dengan posisi yang sama, menghadap langit barat yang mulai berwarna oranye.
Diantara kelimanya, hanya Ari dan Tari yang tampak sangat serius mengiringi kepergian Raja Langit itu untuk menerangi belahan bumi yang lainnya. Oji, Ridho, dan Fio hanya bisa manggut-manggut karena terpesona dengan peristiwa alam yang sudah sering disaksikannya itu.
Sudah puluhan kali Ari dan Tari menyaksikan moment dimana namanya berasal. Langit berwarna jingga itu selalu membuat damai keduanya. Setelah beberapa lama, langit mulai menghitam, menandakan Dewa Langit telah pulang ke peraduannya. Ari menoleh ke arah Tari yang ada disebelahnya, lalu tersenyum menatap dua mata coklat Tari. Tari membalas senyum itu dengan menyuguhkan senyum termanisnya, untuk matahari yang tetap bersinar di hatinya, walau matahari dalam perwujudan setiap orang sudah berpindah ke belahan dunia lain.
Ari membalik, mencondongkan badannya pada keempat temannya.
“Ehmm. Tolong dong, gue...”
Ucapan Ari terhenti, karena Oji langsung mengerti kelanjutannya. “Iya, Bos. Gue ngerti. Kita-kita gak bakal ganggu lo kok. Yuk, kita pergi”
Oji merangkul pundak Fio meninggalkan dua matahari itu. Ridho hanya mengikuti keduanya dengan bibir mengerucut.
“Eeett daaah. Diajak mau jalan bareng, malah akhirnya ya pacaran sendiri-sendiri. Merana bangeeeett malem-malem gini ditengah pasangan-pasangan yang lagi gedebuk cintrooong” sindir Ridho sebelum meninggalkan Ari dan Tari berdua di tempat favorit Ari.
Ari mendekatkan tubuhnya ke arah Tari, membuat Tari tak berkutik untuk menolak. “Tar...”
“Hm?” Tari menaikan satu alisnya, bingung akan menjawab apa.
“Gue sayang sama lo” suara Ari lirih, sangat lirih. Hanya Tari yang bisa mendengarkan suara itu. Hanya Tari yang bisa mendengarkan, sekaligus menangkap adanya ketulusan serta kesungguh-sungguhan dalam nada suara Ari. Tari sempat heran juga, bagaimana bisa kekasihnya itu bisa menjadi siswa dengan berentet predikat buruk, sedangkan untuk menyuarakan kata hatinya saja bisa selirih ini?
“Tar, gue belum pernah ngomong seserius ini kan sama lo? Belum pernah seserius ini kan sama lo? Ini karna gue tulus, bener-bener apa yang ada di dalem hati gue. Lo percaya kan sama gue?”
Tari terdiam, lalu sedetik kemudian ia terkekeh geli. Ari biarkan beberapa detik untuk Tari menyelesaikan tawanya. Namun, tawa Tari tak kunjung reda. Hal ini membuat Ari lama-lama keki. Siapa yang gak keki coba kalo lagi ngomong serius banget, tapi langsung direspon ketawa yang gak berhenti-henti??!
Ari tak habis pikir dengan reaksi Tari. Reaksi yang 1800 berbeda dengan apa yang ia harapkan.  “Lo kok ketawa sih, say?!”
“Sori, Ri, Sori...” kata Tari setelah tawanya reda. “Gue gak nyangka aja mantan pentolan sekolah kalo ngomong bisa kayak gini. Ini bukan lo yang biasanya, Ri”
Ari mendecakan lidahnya berkali-kali. “Ck. Ck. Ck. Itu buat PR aja deh, Tar. Gue lagi gak pengen bahas masalah itu." balas Ari mati kutu. Mati gaya. Salah tingkah.
“Nah terus apa yang mau lo omongin, sayang?” Tari memberi penekanan pada kata ‘sayang’.
“Lo tau kan kalo besok gue pulang ke Amrik?”
“...” tak ada reaksi dari Tari. Apa yang dia khawatirkan kini terjadi. Sejak tadi di rumah, Tari berharap kalau Ari tak menyinggung soal kepulangannya ke Amerika. Karena menurutnya, pertemuannya dengan Ari kali ini adalah perpisahan untuknya dan mataharinya, karena besok, Ari harus sudah kembali ke Amerika. Dan sejujurnya, Tari tak siap dengan segala hal menyangkut perpisahan Ari. Sama sekali tak siap untuk menjalani hidupnya tanpa matahari yang selalu tersenyum dan bersinar untuknya.
“Kalo aja bisa, Tar, gue gak mau pulang ke sana. Tapi, yaahh. Whatever. Itu udah impian nyokap gue, Tar. Sejujurnya, gue gak mau pisah sama lo....”
“...”
“Jingga Matahari... Udah lama kita pacaran, tapi gue bahkan belum pernah denger apa yang lo rasain waktu gue harus pergi ke Amrik. Apa yang lo rasain, Tar?”
Mau tidak mau Tari harus menjawab. Ia menelan ludah. Bimbang, antara harus mengakui atau berbohong pada matahari didepannya. Tari memejamkan matanya, berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak tumpah saat ini juga. “Sej.. Jujurnya... Gu.. gue... juga eng..gak.. bisa relain lo git..tu aj..ja, Ri” Tari menelan ludah, menyesali dalam hati mengapa pada saat seperti ini malah ia tak dapat berkata lancar. Ari bungkam. Ia masih menunggu kelanjutan cerita Tari. Matanya terarah lurus pada mata coklat Tari, berusaha mencari kejujuran dalam sorot matanya.
Tari kembali melanjutkan ceritanya, “Pulang dari bandara, gue nangis didepan Fio. Di depan kak Oji, juga kak Ridho” Tari menghentikan kata-katanya, lalu menatap Ari, menunggu reaksi Ari. Ari sebenarnya ingin sekali membuka mulut, namun diurungkannya karena ia masih ingin mendengar setiap detail dari bibir kecil Tari.
“Kalo mau ngomong, ngomong aja” Tari bisa membaca gelagat Ari yang sepertinya ingin sekali berbicara.
“Oke, Oke... Kenapa Fio, Oji, Ridho gak ada yang ngomong sama gue?” tanya Ari akhirnya.
Tari menghela nafasnya, “Gue yang nyuruh mereka tutup mulut. Gue gak pengen kalo lo tau gue nangisin lo, lo jadi uring-uringan di sana. Gue gak mau kuliah lo berantakan. Gue gak mau ngancurin cita-cita nyokap lo”
“...”
“Ri, gue disini selalu mikirin lo. Gue selalu kangen sama tingkah jail lo. Gue kangen mata item lo....” Tari tak dapat menghentikan air matanya. Refleks, Ari menaruh jemarinya di pipi Tari, lalu menyekanya hingga tak ada lagi sisa air mata di pipi Tari.
“Gue sayang banget sama lo, Ri” karena kehilangan kata-kata, Tari akhirnya hanya bisa mengatakan apa yang ia rasakan. Lebih tepatnya, inti dari semua tentang Ari. Inti dari rindunya, tangisnya, senyumnya, dan lainnya untuk mataharinya. Bahwa ia, Jingga Matahari, sangat menyayangi Matahari Senja, cowok yang menyandang nama seperti dirinya.
Tanpa kata pengantar, Ari langsung merengkuh tubuh mungil Tari dalam pelukannya. Dia biarkan air mata Tari membasahi kausnya. Tangan kanan Ari yang bebas mengusap-usap rambut panjang Tari dengan rasa sayang. Tari yang masih terbuai dalam pelukan Ari, tak menyadari kalau Ari sempat meneteskan butir kristal beningnya. Ari langsung mengerjapkan matanya. Ia tak ingin Tari menjadi ikut sedih, karena biar bagaimanapun juga ini adalah pertemuannya dengan Tari untuk terakhir kali, sebelum ia kembali dua tahun lagi.
“Aku. Sayang. Kamu. Jingga Matahari” Ari mengeja satu demi satu kalimat itu tepat di telinga Tari.
Tari melepaskan tubuhnya dari rengkuhan Ari. Ia menatap mata hitam Ari yang tersenyum padanya.
Ari tampak mencari-cari sesuatu dalam saku jaketnya. Saat dirasa tangannya menyentuh sesuatu, ia mengambil itu dan menyerahkannya pada Tari.
Alis Tari bertaut “Apa?”
“Buka aja” Mata Ari berkilat misterius. Saat Tari membuka kotak itu, mata Tari kontan melebar. Ia menatap Ari yang sedang menikmati keterkejutannya.
Tari menganga tajub. “Ini buat gue?” tanyanya memastikan.
“Iya. Kenapa? Lo gak suka?”
“Ya Ampuuuunnn Ariiii. Mana mungkin gue gak suka??!” Tari mengambil kalung berliontin matahari yang ada di dalam kotak itu. Kalung yang sangat indah. Elegan. Dan, tentu saja.... sangat mahal, karena Tari tau, kalung itu bukan kalung biasa. Kalung itu sangat berkilau. Sepertinya, itu bukan berasal dari batu biasa.
“Ini kalung dari apa, sayang? Indah banget lho” masih dengan ketakjubannya, Tari menatap mata Ari. Agak takut juga sih, soalnya mata Ari kan tajem banget.
“Ini bukan kalung biasa” Ari menjelaskan dengan nada suara yang lembut sekali, mirip seperti guru sedang menjelaskan cara menentukan persamaan garis dan aritmetika pada murid yang belum mengerti. “Itu kalung dari batu Rubby, Tar. Jaga baik-baik yaa” Ari mengusap-usap puncak kepala Tari dengan lembut, dengan sayang.
Tari terkejut. Batu Rubby? Itu kan mahal bangeeeeeettt!!!! “Batu Rubby, Ri? Astagaa... itu mahal banget” Tari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lebay deh. Ini sengaja gue pesen buat lo, Tar. Kapan gitu, gue lupa, gue sengaja pesen kalung itu ke Yunani. Gue bela-belain, demi lo”
“...”
“Soal kalung itu enggak penting, Tar. Yang jelas, ini Cuma tanda aja. Gue Cuma pengen, kalo kalung ini dipake sama lo. Jadi, gue ngerasanya kalo gue tetep sama lo. Nanti, Tar, kalo gue udah pulang dari Amrik, gue pengen banget kalo kalung ini masih ada sama lo” Ari mengambil kalung itu, lalu memakaikan kalung itu pada Tari. Tari hanya diam. Terharu. Setelah Ari selesai memakaikan kalung itu, Tari serta-merta langsung memeluk Ari. Entah mengapa, tapi yang jelas Tari ingin sekali memeluk Ari.
Cukup lama Tari memeluk Ari. Ari hanya bisa membalas pelukan Tari, karena ia sadar, saat ini Tari benar-benar melakukannya dengan hatinya.
Ari melepaskan pelukan Tari, yang hanya disambut dengan sorot mata kecewa oleh Tari. Ari mendekatkan wajahnya ke arah Tari. Dekat... Dekat... Dekat... dan, hanya ada 5cm jarak diantara keduanya. Mata hitam Ari memandang lekat-lekat mata coklat Tari. Ari kembali mendekatkan wajahnya, hingga kini hidung mereka bersentuhan. Tari memejamkan matanya. Ia tau apa yang akan dilakukan kekasihnya. Lalu..... cup... Ari mengecup lembut kening Tari. Tari bisa merasakan, kalau saat ini pipinya memanas. Ini memang bukan pertama kalinya Ari mengecup keningnya. Tapi, bisa Tari rasakan banyak sekali rasa dalam kecupan itu. Rasa sayang memang salah satu dari seluruh rasa itu, tapi Tari sadar, rasa sedih dan takut justru paling dominan diantara seluruh rasa.
Cukup lama Ari mengecup kening Tari. Kalau saja bisa, ia tak akan pulang lagi ke Amerika. Long distance is killing he!!!
Ari melepas kecupannya, tapi tak menjauhkan wajahnya dari Tari. Tanpa Tari bisa duga, tiba-tiba bibir Ari sudah bertaut dengan bibir miliknya. Hanya sedetik memang. Tapi sedetik itu menjadi moment yang mengesankan. Sedetik yang membuat pipi Tari merona, dan sedetik yang membuat degup jantungnya tak beraturan. Tari sadar, sedetik itu juga luka untuk dirinya, dan mataharinya. Sedetik itu mungkin adalah kecupan terakhir dari Ari, yang mereka tak tau kapan bisa kembali merasakan sedetik berharga itu.
Ari memeluk tubuh mungil Tari. Lama, sangat lama. Ari melakukannya seolah ini adalah pelukan terakhirnya untuk Tari. Tari tau persis, ini adalah pelukan yang sarat akan seluruh luka dalam hati Ari. Tari sadar, sangat sadar kalau selama 2 tahun ini, ia pasti akan sangat merindukan Ari. Sangat merindunya.
Mereka berdua tak tau, dari jarak yang tak terlalu jauh, Oji, Fio, dan Ridho tengah mengamati mereka. Fio bahkan sempat meneteskan air matanya, yang langsung dengan sigap diseka oleh jemari Oji. Ridho hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan dua sahabat karibnya.
“Cinta emang gila. Ck.” Gumam Ridho dan tak henti-hentinya menggelengkan kepalanya dan mendecakan lidah.


ïïï


Hari kepulangan Ari ke Amerika.

Sudah lima belas menit Tari mondar-mandir dengan irama kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri persis seperti setrikaan. Fio, yang melihat kegelisahan Tari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gue pusing liat lo, Tar” Fio membuka suaranya, setelah langkah Tari yang ke 88. Tari menghentikan aksinya, lalu ikut duduk di tepi ranjang, berjejer dengan Fio. Tari hanya diam, membisu ditempatnya.
“Tar, berangkat yuk. Kak Ari pasti udah nungguin”
Tari masih bergeming ditempatnya. Matanya menerawang. Air mata bahkan sudah terlebih dahulu turun tanpa bisa dicegahnya.
“Tar...” Fio membuyarkan lamunan Tari.
“Apa, Fi?” suara Tari sangat lemah, juga serak karena sejak semalam ditambah pagi ini ia terlalu banyak menangis.
“Ke bandara, yuk. Bentar lagi terbang nih”
Tari menggeleng kuat-kuat “Enggak, Fi. Gue gak mau nangis di bandara. Gue gak siap buat lepasin Ari. Gue....” Tari tak dapat meneruskan alasannya, karena sudah lebih dulu tangisnya pecah.

Sementara itu, Di Bandara...

Ari berulang kali melihat ke arah jam tangannya. Gelisah, cemas, dan takut kalau mataharinya tak juga datang. Mamanya dan Ata yang duduk tak jauh dari Ari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Udahlah, Ri, dia pasti dateng” hibur Oji seraya menepuk pundak Ari, menenangkan sahabatnya. Ridho sebenarnya ingin sekali menelepon Tari, untuk memastikan kedatangannya. Tapi, Ari mencegah Ridho, dengan alasan ia ingin Tari datang untuk bertemu terakhir kalinya dengan Ari atas kemauan hatinya sendiri, bukan karena paksaan Ridho.
Mama Ari yang tak tega melihat anaknya gelisah seperti itu, langsung membujuknya untuk ke ruang boarding, karena lima menit lagi pesawat akan take off.
“Ri, udahlah. Pesawat lo gak akan mau nungguin satu penumpang kayak lo. Mending lo ke boarding dulu gih. Ntar kita-kita kontak lo kok kalo Tari dateng” Ata juga ikut membujuk Ari, yang di-iyakan oleh Oji, Ridho, dan mamanya.
“Iya yah? Gue kok bego banget. Dia juga gak akan dateng. Udah kurang lima menit gini” Ari mendecakan lidahnya. Ia lalu mengambil satu travell bag yang ada di sebelahnya. Dalam hati, ia masih berharap kalau Tari akan datang.
“Yaudah, Ma, Ta, Dho, Ji, gue pergi dulu ya. Baik-baik lo semua. Mama juga, jangan lupa makannya ya, Ma. Ji, Dho, Ta, tolong ya...” ucapnya pedih. “Tolong jagain dia” lirih, sangat lirih saat Ari mengucapkan kalimat terakhir yang jelas ditujukan untuk Tari. Ata, Ridho, dan Oji hanya menganggukkan kepala, mengerti akan kesedihan Ari. Ari lalu memeluk mamanya untuk terakhir kali. Bergantian, ia juga memeluk Ata, Oji, dan Ridho. Ia yakin sekali di Amerika, ia akan kembali merindukan Ata, Oji, dan Ridho. Juga Tari...
Ari melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruang boarding. Antrean cuku panjang rupanya, sehingga Ari masih harus mengantre cukup lama. Jauh dalam hati Ari, ia memang sangat mengharapkan keberadaan Tari. Tapi, ia sadar kalau dalam waktu seperti ini Tari tak akan datang. Kalau Tari datang, adegan itu hanya ada di dalam sinetron.
Tiba waktunya Ari untuk mengecek paspor dan keperluan lain. Ia menyempatkan melihat ke arah mamanya, saudara kembarnya, dan dua sahabatnya. Ari tersenyum ke arah mereka, walau mereka tak akan mungkin bisa melihatnya. Ari mendesah kecewa, karena ia tak juga menemukan Tari ada diantara mereka.
Selesai mengecek, Ari segera masuk ke dalam ruang boarding. Ia sengaja memilih waktu lima menit sebelum take off, karena tak ingin berlama di dalam ruang boarding. Selang dua menit Ari di ruang boarding, ia segera naik ke peswatnya, karena pesawatnya sudah siap untuk mengantarnya ke Amerika.
“Lo bahkan gak dateng, Jingga Matahari...” gumam Ari dalam hati.

ïïï

“Kak Oji...!!” Oji menghentikan langkahnya saat akan menuju ke parkir mobil Ridho, saat dirasanya ada yang memanggilnya. Suara yang sangat ia kenal...
“Tari??!” seru mama Ari saat ia melihat gadis dengan accesories oranye melekat ditubuhnya, bersama Fio yang berlari mengejar Tari.
Tari dan Fio bersamaan mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. “Ari mana?!” Tanya Tari setelah berhasil mengatur nafasnya.
“Ari udah take off, baru aja” Ata yang menjawab pertanyaan Tari. Semua yang ada disitu menatap Tari dengan prihatin, termasuk Fio. Fio sebenarnya sudah tau kalau Ari sudah take off karena Oji tadi sempat mengiriminya sms. Tapi, Fio tak memberitahu Tari karena takut Tari akan menagis di taksi.
Tari memejamkan matanya, membiarkan air matanya turun. Ia menyesal dalam hati, seandainya saja ia datang lebih awal...
“Udah, Tar. Ayo, ke rumah tante dulu. Nangis-nya disana aja, ya. Fio, kamu ikut sama tante ya” Tari mengikuti saja saat mama Tari merangkulnya menuju mobil Ridho. Jalannya lambat, karena bisa ia rasakan tubuhnya sudah tak berjiwa.

ïïï

“Jadi gitu tante ceritanya...” Tari menghela nafasnya, setelah menceritakan mengapa ia datang terlambat saat pesawat Ari sudah take off. Saat bercerita, suara Tari sangat lirih, sehingga banyak yang harus mendekatkan wajahnya ke arah Tari. Sesekali juga suaranya tak bisa didengar. Tak jarang pula ia berhenti bercerita karena tak sanggup menahan tangisnya. Mama Tari sangat mengerti akan perasaan Tari, karena baginya, Matahari ini adalah kembar ketiga dari anak-anaknya.
Mereka semua berkumpul di rumah Ari. Oji, Ata dan Ridho hanya manggut-manggut mendengar cerita Tari. Sedangkan Fio, ia hanya bisa menatap Tari dengan sorot mata prihatin.
“Minum dulu, Tar. Biar lebih enakan” Tari menerima satu gelas air dari Ridho, lalu meneguknya tanpa semangat. Semua yang ada disitu bisa merasakan kesedihan Tari. Ata sebenarnya ingin sekali memeluk matahari didepannya ini, namun ia urungkan karena ada dua sahabat Ari diantara mereka.


Di dalam pesawat...

Ari tak henti-hentinya mendengarkan lagu Aku Pasti Kembali milik Pasto dari headset I-Pod nano warna biru muda miliknya. I-pod itu adalah hadiah dari Tari, saat ulang tahunnya ke 18, tahun lalu. Ari menyandarkan tubuhnya pada tempat duduk pesawat. Matanya terpejam, sangat merasakan setiap emosi dalam barisan lirik itu. Ingin sekali di sentuhnya mataharinya untuk terakhir kali. Tapi... Mataharinya bahkan tak datang pada saat-saat terakhir. Ari hanya bisa menelan semua kesedihannya. Ini kesedihannya, jadi, ia biarkan dirinya sendiri yang merasakannya. Mati-matian Ari menahan air bening itu agar tak jatuh, tapi akhirnya... Bulir-bulir air mata itu jatuh juga.  Air mata itu adalah segala sumber lukanya. Air mata itu juga adalah sumber segala kerinduannya. Darinya, untuk seseorang yang menyandang nama seperti dirinya, Jingga Matahari.

Waktu tlah tiba aku kan meninggalkan
Tinggalkan kamu, tuk sementara
Kau dekap aku, kau bilang jangan pergi
Tapi ku hanya dapat berkata
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal,
Aku pasti kembali...
Kau peluk aku
Kau ciumi pipiku
Kau bilang jangan aku pergi..
Bujuk rayumu buat hatiku sedih
Tapi ku hanya dapat berkata
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal
Aku pasti kembali
Apa bila nanti kau rindukanku didekapmu
Tak perlu kau risaukan..
Aku pasti akan kembali....

ïïï

Tari masih menangis. Setelah dari rumah Ari, di dalam mobil Ridho dalam perjalanan pulang, Tari menangis dalam pelukan Fio. Baik Fio, Oji, maupun Ridho sudah berusaha menenangkan Tari. Oji bahkan sempat berpikiran untuk memberi tau Ari, tapi dicegah oleh Tari. Tari tak ingin kalau di Amerika kekasihnya menjadi terus-terusan kepikiran dirinya.
Sampai malam ini-pun, Tari masih menangis. Fio-lah orang yang menjadi ‘sampah’ dari air mata Tari, karena Tari malam ini menginap dirumah Fio. Fio tak tega melihat Tari yang terus-terusan menangis. Maka, saat Tari terlelap, Fio mengambil handphone-nya dan menelpon Oji.
“Ada apa, Fi?” tanya Oji dari seberang.
“Tari kak. Dia nangis terus di rumahku” Fio menjawab dengan berbisik, takut Tari terbangun.
“Cerita di telpon gak aman kan? Aku ke rumah kamu, Fi” tanpa menunggu jawaban Fio, Oji langsung menutup telpon. Fio hanya bisa melongo, sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Tu anak sama aja kayak kak Ari. Bos sama jongos gak jauh beda” sungut Fio sebal. Walau yaaah, tak dapat dipungkiri, Fio merasa senang dengan sikap Oji yang care dengan dirinya.
Fio langsung naik ke motor Oji, setelah ia mendengar suara motor Oji didepan rumahnya. Sebelumnya, ia mengecek keadaan Tari, memastikan sahabatnya tetap tertidur pulas.
“Tari nangis lagi?” komentar Oji setelah Fio menyelesaikan ceritanya. Mereka sudah ada di taman tak jauh dari rumah Fio. Mama Fio memang hanya memberi izin agar pergi tak jauh-jauh. Sebenarnya, pantangan bagi beliau untuk memberi Fio izin keluar malam-malam. Tapi, begitu tau siapa yang mengajak Fio pergi, mama Fio langsung setuju dengan syarat tak boleh jauh-jauh dan lama-lama.
“Iya, kak. Udah seharian ini dia nangis terus. Aku sampe repot nenanginnya. Tadi sebelum aku nemuin kakak, aku sempet nge-cek keadaan Tari. Kasian banget si Tari. Dia ngigau gitu kak” Fio mendesah pelan. Mata Oji membulat seperti bakso. Dulu, saat ditinggal pergi Ari ke Amerika, Tari memang sempat nangis. Tapi itu-pun tak bertahan lama. Tapi sekarang?!
Oji serta-merta langsung melingkarkan tangannya ke bahu Fio. “Ngigau apa, Fi?”
“Dia ngigau nyebut-nyebut nama ‘Matahari Senja’ gitu. Aku kasian banget sama Tari. Gak nyangka dia bisa sampe segitu downnya”
“Ck. Kamu juga pasti ntar kayak gitu deh kalo aku tinggal pergi kemana gitu” Fio mengernyit heran. Kenapa tiba-tiba jadi mbelok gini??!
“Lho? Kok jadi ngomongin kakak sih?!”
Oji terkekeh geli. Ia lalu melepaskan tangannya, kemudian berbalik menghadap Fio. Dia langsung menatap Fio tepat di matanya.
“Gak papa, Fi. Ntar kalo aku pergi, kamu nangis-nangisan kayak si Tari gak?” tanya Oji serius. Matanya masih menatap sepasang mata belo milik Fio lekat-lekat.
Fio bingung, tak tau harus menjawab apa. “Masa sih gue harus jawab kalo gue nangisin dia? Ntar dia ke-GR-an lagi.” Kata Fio dalam hati. Ia tak menjawab pertanyaan Oji.
“Gak jawab? Berarti jawabannya iya nih?” goda Oji membuat pipi Fio bersemu merah. Oji menatap semburat merah di pipi Fio dengan gemas. Ingin sekali ia mencubit pipi Fio.
“Iiiiihh ya gak gitu lah!! Emang aku siapanya kakak sampe harus nangisin gitu??!” sungut Fio sebal, tapi senang karena Oji bisa menebak pikirannya.
“Sekarang emang belum, tapi bentar lagi pasti jadi my girlfriend” jawab Oji kalem, masih tak melepaskan pandangannya dari mata Fio. Jawaban Oji yang tak terduga itu, membuat jantung Fio menjadi tak karuan. Bahkan mungkin, Oji bisa mendengar degup jantungnya. Fio tak menanggapi kata-kata Oji, karena masih bingung dengan arti kata-katanya.
“Itu tadi nembak apa bukan sih???!!” tanya Fio dalam hati. Tak bisa berbohong, kata hatinya berbicara kalau ia sangat senang mendengar kata-kata Oji. Fio bahkan merasa dirinya sedang mimpi. Kalau itu mimpi, sungguh, ia tak ingin mimpi itu cepat berakhir. Untuk meyakinkan kalau itu bukan mimpi, Fio mencubit tangannya sendiri.
“Ini bukan mimpi, sayang” komentar Oji setelah mendengar Fio menjerit kesakitan. Ia tau gelagat Fio yang sedang meyakinkan dirinya sendiri kalau ini bukan mimpi.  Sayang! Satu kata itu terus-terusan membuat Fio tersenyum semalaman. Kayaknya dosen di kampus perlu sujud di kaki Oji nih . Pelajaran dosennya aja kadang ga pernah sekalipun nyangkut di otaknya. Tapi kata-kata Oji bahkan bisa selalu terngiang dan membuatnya tersenyum sendiri.
                                                              
ïïï

“Dari tadi kok senyum-senyum terus, Fi?” Tari curiga juga mendapati Fio dari tadi subuh sampe sekarang mau ke kampus senyum-senyum terus.
Fio, yang memang tak suka memendam cerita sendiri lalu menceritakan kisahnya pada Tari. Tak mungkin cerita seindah ini ia simpan sendiri.
Tari langsung histeris setelah mendengar cerita Fio. “Kyaaaaaa. Itu nembak, Fiooo. Akhirnya lo jadian sama dia juga, Fi” Fio hanya tertawa mendengar reaksi Tari.
Orang yang sedang menjadi topik pembicaraan tiba-tiba muncul di depan Tari dan Fio. Oji dan Ridho memang kuliah di satu Universitas yang sama dengan Tari dan Fio.
“Lagi ngomongin gue ya?!” desak Oji tiba-tiba. Telak! Pipi Fio kontan bersemu merah.
“Tar, cabut aja yuk. Gak enak nih gangguin mereka berdua” Ridho menimpali, lalu menggandeng tangan Tari menjauhi Oji dan Fio. Oji dan Fio masih berdiam ditempatnya.
“Duduk sana yuk, Fi” Oji mengamit tangan Fio, lalu mengajaknya duduk di bangku taman kampus.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Detik-detik berlalu dengan kebisuan. Hingga di detik ke delapan, Oji akhirnya membuka suaranya “Fi..” ucapnya pelan. Ini jelas bukan suara Oji yang biasa.
“Iya kak?” Fio heran juga mendengar suara Oji yang sangat lirih. Oji tak menjawab. Kini, ia mengerti kenapa banyak teman cowoknya yang lebih memilih ‘nembak’ lewat sms atau telpon. Karena itu semua butuh keberanian yang besar! Oji meyakinkan hatinya, menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Fio jadi curiga,  jangan-jangan malah Oji baru saja berlari dari depan bundaran HI sampai ke kampus!
“Gue... sebenernya suka sama lo” Oji bersorak kegirangan dalam hati, karena akhirnya ia bisa dengan lancar menyuarakan kata hatinya. Fio seketika terperangah, tak menyadari akan apa yang akan diucapkan jongos Ari ini.
“Fi, lo mau gak jadi Matahari gue?” belum sempat Fio mencerna perkataan Oji tadi, kali ini Oji sudah mengatakan to the point.
“Eh?” hanya itu yang dapat Fio katakan, karena saat ini memori otaknya kehilangan seluruh perbendaharaan kata yang ia miliki.
“Lo mau jadi pacar gue?”
Tetap tak ada reaksi dari Fio. Ia masih sibuk mencerna kata-kata Oji.
Keterdiaman Fio membuat Oji gerah “Lo kenapa sih? Lo gak mau jadi pacar gue? Lo suka kan sama gue?!” telak! Pipi Fio memerah seketika.
“Apa?! kak Oji tau darimana kalo aku suka sama kakak??!” Fio menjawab dengan panik, hingga tanpa pikir panjang mengeluarkan kata yang jelas sangat tidak beraturan. Pertanyaan yang jelas menyuarakan ‘gue suka sama lo’.
Oji terkekeh geli. Lama, dipandanginya cewek disebelahnya yang tengah memandang ke arah lain. Ia yakin sekali kalau pipi Fio sudah sangat merah.
“Bener kan, lo suka sama gue? Kalo gitu lo mau dong jadi pacar gue?”
“...”
“Fi?”
Fio tak menjawab. Ia lalu membalikan badannya, menatap Oji yang sedang menunggu penuh harap kepadanya. Tanpa kata pembuka, atau penjelas, Fio tersenyum, lalu menganggukan kepalanya pelang. Senyum malu-malu masih menghiasi wajahnya. Oji menghembuskan nafas lega, lalu refleks memeluk tubuh Fio karena saking girangnya.
Tari dan Ridho yang melihat dari kejauhan hanya bisa menahan senyumnya agar tak pecah menjadi tawa. Adegan yang —sumpah!— konyol banget! Fio dengan mukanya yang malu-malu, dan Oji yang girang banget kayak orang gila!
“Ck. Gue bahkan belum pernah ngeliat Oji segirang ini, Tar” gumam Ridho menahan tawanya.
“Ho-oh” Tari membekap mulutnya dengan satu tangan, karena sudah tak bisa menahan tawanya.
ïïï

Ari sampai di Amerika esok malam. Hal pertama yang ia lakukan adalah menelepon Tari. Ia ingin menanyakan mengapa Tari tak juga datang di bandara saat ia akan pulang ke Amerika. Lama Ari menunggu telpon tersembung. Maklum, Amerika-Indonesia bukan jarak yang dekat.
“Halo, Ri?” suara diseberang sana membuat Ari seketika tersenyum. Suara itu... Suara yang sangat ia rindukan, walau baru sehari tak mendengarnya. Gimana dua taun yah?!
“Hai, Tar. Sori baru kontak. Lo baik-baik kan?”
“Iya, baik-baik aja. Lo juga kan? Eemmm, sori, Ri...” Tari menghentikan ucapannya sebentar. “..Gue telat waktu ke bandara. Abisnya, gue dirumah udah nangis duluan. Waktu ke bandara, pesawat lo baru aja take off” ucap Tari penuh penyesalan. Mengingat itu membuat air mata Tari tanpa bisa dicegah sudah turun dari pelupuk matanya. Ia merasa telah melakukan kesalahan besar. Ia merasa sudah melukai Ari. Lebih dar itu, Tari sangat menyesal. Andai saja waktu itu ia ada di bandara. Tentu saja ia tak perlu sampai se-menyesal ini.
“Tar? Lo kok nangis?” Ari cemas begitu diseberang Tari tak menjawab. Yang terdengar hanya suara isak tertahan pacarnya. Ari juga berusaha mencegah agar air matanya tak jatuh. Sulit. Sangat sulit baginya untuk jauh dari Tari.
“Gue kangen lo, Ri” lirih. Sangat lirih ketika Tari mangatakan kalimat itu. Suara yang sangat lirih, namun sarat akan kesungguhan didalamnya. Ari hanya bisa menghembuskan nafasnya ketika mendengar mataharinya merindukannya. Ari bisa dengan jelas menangkap makna dari suara sengau Tari. Suara yang sangat jelas menunjukan kalau Tari sedang menangis.
“Gue juga, Tar. Tapi sabar aja, ya. Lo, gue, pasti bisa ngelewatin ini semua. Gue bakal balik lagi kok, Tar....”
Mengobrol panjang lebar dengan Tari, menenangkan tangisnya, mengucapkan berbagai variasi kata-kata rindu, membuat Ari semakin digerogoti rasa sakit. Rasa sakit ketika ia harus jauh dari orang yang ia sayang. Rasa sakit yang masih sangat akrab dengannya. Rasa sakit yang sama, seperti rasa sakit ketika umurnya delapan tahun. Diseberang, Tari masih harus menyeka airmatanya. Selalu seperti ini. Saat Ari jauh darinya, Tari tak kuasa menahan airmata yang tiba-tiba saja sudah mengalir turun.
ïïï

“Ata?” kening Tari berkerut samar ketika melihat everest hitam terparkir didepan rumahnya, esok hari. Ia terkejut mendapati mobil berbadan besar itu sudah menyesaki jalan depan rumahnya. Hari masih pagi, dan Tari baru saja terbangun dari tidurnya. “Ngapain Ata sepagi ini ke rumah gue?” tanya Tari pada dirinya sendiri.
Tari cepat-cepat berlari keluar rumah, tanpa mengganti pakaiannya. Di luar, ia tambah bingung lagi mendapati Ata sedang mengobrol di teras rumah bersama mamanya.
Mama Tari langsung berdiri, begitu melihat Tari. Mama Tari pergi mennggalkan mereka berdua.
“Kakak ngapain pagi-pagi begini di rumah saya?” Tari menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Ata.
Ata hanya tersenyum simpul “Jalan yuk?”
Tanpa menunggu jawaban Tari, Ata segera mengamit satu lengan Tari. Membawanya ke everest hitam yang terparkir di depan rumah Tari.
“Mau kemana sih, kak?” Tanya Tari begitu Ata menginjak gas, meliukan mobilnya diantara hiruk-pikuk kota Jakarta.
“Ke tempat dimana langit terasa dekat” Ata terkekeh geli begitu melihat reaksi Tari yang keheranan atas jawabannya.
Melihat kening Tari yang berkerut, Ata lalu menjelaskan “Gue mau ngajak lo main ke  atap kantor bokap gue, Tar”
“Ooh. Kirain kemana” jawab Tari pendek.
Keduanya terdiam. Tak ada percakapan di dalam mobil itu. Baik Ata maupun Tari masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri, hingga kebisuan mendominasi ruang kosong mobil berbadan besar itu.
Ata memarkirkan mobilnya di sebuah tempat parkir gedung Advertising besar. Tari tau kalau ini kantor Papa Ata dan Ari, karena Ari pernah mengajaknya kesitu. 


3 komentar:

Senin, 26 September 2011

Senja itu...

INI SALAH SATU LITERATURE YANG PALING GUE SUKA!!! INI VERSION DARI 'JDS SERIES'. INI UDAH LEBIH DARI 15 HALAMAN, TAPI GUE KENA WRITER'S BLOCK!!!!! AAAAAAAAAAAA PADAHAL GUE PENGEN BET NYELESEINNYAAAAAA ;( 



“Ari.....” Tari tersenyum girang saat melihat sebuah tangan melambai ke arahnya. Dengan setengah berlari, Tari menghampiri cowok jangkung yang tak henti-hentinya melambaikan tangan kearahnya.
“Tari...” Ari langsung memeluk cewek itu begitu Tari berada persis di hadapannya. Tari masih sama seperti yang dulu. Tubuh mungilnya, rambut panjangnya, senyum manisnya, dan tak lupa accesories bernuansa oranye. Tari masih seperti Tari yang dulu. Ia masih Tari yang sama. Ia masih Tari yang membuat Ari bertekuk lutut. Dan ia masih Tari, Matahari yang selalu membuat hari-hari Ari terasa bersinar dan penuh akan makna.
“Seneng banget gue bisa ketemu lo lagi, Tar” Ari mengacak-acak poni Tari. Kebiasaan yang dulu sering dilakukannya tiap kali bertemu dengan Tari.
“Gue juga, Ri. Dua bulan rasanya hidup gue gak normal banget”
Ari terkekeh geli. “Lo kangen sama gue, Tar?”
“Yeeee, ngarep Lo” Tari berkilah. “Maksud gue, udah dua bulan ini hidup gue gak normal, karena biasanya kan tiap hari ada aja ulah lo yang bikin gue naik darah”
Ari merengkuh bahu Tari, lalu membenamkan tubuh mungil itu kedalam dekapannya. Sudah lama sekali ia tak bisa merasakan kehangatan saat Matahari-nya ada dalam peluknya. Sudah lama sekali ia tak merasakan degup jantungnya yang memburu saat ia ada bersama Tari. Sudah lama pula ia tak merasakan hatinya berdesir saat melihat senyum manis milik Tari.
“Gue sayang banget sama lo, Jingga Matahari” bisik Ari halus tepat di cuping telinga Tari, membuat rona merah di wajah Tari semakin semerah buah perssik.

ïïï

“Fi, gue make baju ini pas enggak ya?” Tari memperlihatkan pada Fio mini dress berwarna putih selutut. Malam ini, Ari mengajak Tari untuk dinner di salah satu Caffe terkenal, untuk merayakan kepulangannya dari Amerika. Ari juga mengajak dua antek-antek setianya, Oji dan Ridho. Tak lupa, ia juga mengundang Fio, teman semeja Tari, dan Ata, saudara kembarnya. Dua bulan yang lalu, Ari memang pergi ke Amerika untuk menuruti keinginan sang Mama, yang menginginkan Ari untuk menyelesaikan study-nya di Oregon State University. Ari terpaksa meninggalkan Tari, Mataharinya, demi menuruti keinginan sang Mama. Dan hari ini, Ari kembali lagi ke Indonesia selama tiga hari karena Universitas tempatnya menimba ilmu sedang mengadakan Ujian untuk mahasiswa semester akhir.
“Udahlah, Pede aja. Lo tetep cantik kok” Fio tersenyum geli melihat sahabatnya yang tampak sangat deg-degan dengan acara dinner malam ini.
Tanpa diketahui Tari, Fio juga merasakan hal yang sama seperti Tari. Fio deg-degan karena malam ini ia akan bertemu dengan Oji, orang yang sudah membuatnya hampir mati karena tiap hari jantung Fio harus berdegup 999 kali lebih cepat dari standard normal manusia lainnya. Sama seperti Tari, Fio dulu selalu merasa terkena kutukan dari salah satu panglima tawur SMA Airlangga itu. Setiap kali ada Oji, pasti akan ada gangguan dan intimidasi untuk dirinya. Gangguan yang bahkan terkadang sudah bisa membuat suara Fio melengking 12 oktaf, atau bahkan gangguan itu membuatnya harus menanggung malu. Tapi ternyata, lagi-lagi Tuhan punya rencana lain.
Semakin lama, Fio mulai merasakan ada yang janggal saat matanya tak dapat menemukan Oji dari penglihatannya.
Sama seperti Tari, Fio bahkan mulai bisa merasakan perasaan yang berbeda setiap kali bersama, atau sekedar melihat Oji.

ïïï

Tari dan Fio  melangkah ragu ke dalam ruangan yang dipenuhi lilin itu. Suasana yang amat sangat romantis. Caffe ini sepertinya sengaja memberikan efek romantis, karena di seluruh penjuru ruangan tak ada cahaya lampu sedikitpun. Cahaya caffe itu hanya berasal dari lilin-lilin yang terpajang disetiap meja.
“Tari...” Tari menoleh saat mendengar suara Ari menyebut namanya. Ari setengah berlari menghampiri Tari dan Fio. Ari malam ini tampak sangat keren mengenakan kemeja putih yang lengannya di gulung sampai ke siku. Sangat serasi dengan dress Tari yang juga bernuansa putih.
“Langsung ke outdoornya aja yuk. Gue booking di pinggiran kolam renang. Fi, sori ya. Gue jalan kesananya sama Tari....”
Fio dengan cepat menyela ucapan Ari “Ooh. Gak apa-apa kak. Gue bisa jalan sendiri kok”
Ari tersenyum samar “Gak. Gue udah siapin pangeran buat lo” mata Ari beralih ke salah satu sudut ruangan. Sedari tadi, Tari dan Fio tak sadar ada seseorang yang sedang duduk bersandar disalah satu kursi. Dia adalah Oji.
“Lo sama gue aja, Fi” Oji mengedipkan sebelah matanya kepada Fio, membuat pipi Fio bersemu merah.
“Emmm, Ri. Kayaknya kita berdua ganggu deh. Pergi aja, yuk” Tari menggandeng lengan Ari, lalu menjulurkan lidahnya kearah Fio dan Oji. Belum sampai Fio membalasnya, Ari sudah lebih dulu membawa Tari ke ruangan yang sudah di booking Ari.  Fio dan Oji nampak saling salah tingkah. Fio sedang berusaha menetralkan degup jantungnya yang tak beraturan, sedangkan Oji sedang berusaha menemukan kata-kata yang pas untuk mengajak gadis didepannya mengikuti langkah dua matahari itu.
Hanya dengan senyum, Oji mengulurkan tangannya kepada Fio, tanpa mengucapkan satu kata-pun. Cukup lama Fio bergeming ditempatnya, hingga akhirnya ia menyambut uluran tangan Oji.
Tari pura-pura berdehem saat melihat Fio dan Oji bergandengan tangan menghampirinya “Ehmm. Kayaknya ada yang bentar lagi mau jadian nih”
“Apaan sih, Tar” sangkal Oji.
“Udah deh, Ji. Lo tembak aja si Fio” Ari ikut-ikut menggoda Oji dan Fio, yang tampaknya sangat salah tingkah.
Ridho, yang sedari tadi hanya menahan tawa melihat sahabatnya sedang digoda habis-habisan oleh bos mereka, akhirnya angkat bicara “Ji, lo gak usah pacaran sama Fio deh. Ntar kalo lo sama dia, Ari sama Tari, gue sama siapa doongs book??!” semua yang ada disitu tergelak mendengar joke dari Ridho. Ridho yang terkenal jago taekwondo, tiba-tiba saja bergaya ‘melambai’ seperti yang sedang nge-trand akhir-akhir ini. Jelas saja itu membuat Ari, Tari, Fio, dan Oji terkekeh geli.
“Ck. Lo sama gue aja, Dho” Ata yang baru datang langsung ikut nimbrung dengan joke Ridho.
“Gak, gak. Kalo kata si Bos, Poligami, oke. Tapi kalo homo-homoan, cukup gue sama Matahari Senja” jawab Ridho kalem.
Mereka lalu duduk melingkari meja yang sudah dibooking oleh Ari. Meja itu ada di tepi kolam renang. Di dalam kolam, banyak sekali hiasan-hiasan candle mengapung, memancarkan berbagai macam warna. Namun, warna jingga-lah yang mendominasi candle-candle itu.
Malam itu, baik Ari ataupun Tari merasa bahagia. Sepanjang acara, Ari tak henti-hentinya tersenyum menatap Tari. Juga sebaliknya, Tari juga membalas senyum hangat Ari dengan senyum termanisnya. Tak hanya di bibirnya, tapi juga senyum dimatanya.

ïïï

Tari  membuka matanya saat perlahan-lahan mulai merasakan panas.  Cahaya dari benda langit yang bernama sama dengan dirinya itu menerobos masuk ke pori-pori jendela bermotif matahari di kamarnya. Tari terbangun dari tidurnya. Tak sepenuhnya  nyawanya terkumpul, karena butuh beberapa saat untuk menghilangkan hasratnya kembali memeluk guling kesayangannya yang berwarna oranye itu. Setelah nyawanya benar-benar 100%, Tari melangkah lunglai kedalam kamar mandi pribadi di kamarnya yang penuh dengan nuansa oranye dan full ornamen-ornamen matahari.
“Kak Tari, tadi kak Ari telpon ke rumah, nanyain kak Tari” Tari mengerutkan keningnya mendengar ucapan Geo saat ia baru saja duduk untuk menikmati sarapan paginya.
“Sepagi ini, Ge? Jam berapa?” tanya Tari dengan kening yang masih berkerut.
“Iya, kak. Mmm jam 5 ada kali”
Tari hanya manggut-manggut mengerti, lalu tak bertanya lagi karena sudah serius dengan bahan logistiknya pagi ini. Kemarin, saat dinner bersama Ari dan teman-temannya, Ari mengajak Tari untuk pergi ke sebuah tempat, yang Ari bahkan tak memberitahukan nama tempat itu saat Tari menanyakannya. Mereka tidak berdua, tentu saja. Mengingat dua matahari ini punya banyak ‘followers’, Ari mengajak Oji, Ridho, serta Fio. Sebenarnya, ia juga mengajak Ata. Tapi, Ata menolak dengan alasan ia mau mengerjakan tugas anatomi dari dosennya.
Handphone di saku celana Tari melantunkan alunan lagu ‘Just The Way You Are’ , lagu favoritnya dan Matahari hidupnya. Setelah sekilas melihat nama pemanggil, ia lalu menekan tombol answer.
“Ya, Ri?... Oooh, jadi doong... Jam 4 ya?... Yaudah deh, gue tunggu lo... Me too, Matahari Senja” Tari menutup teleponnya, lalu masih tersenyum mengingat kalimat terakhir dalam pembicaraan mereka. Jantungnya selalu berdegup tak karuan setiap kali mataharinya memanggil dirinya dengan nama itu. Pipinya selalu bersemu merah kala Ari menyuarakan isi hatinya lewat kata-kata rindu. Begitu manis, romantis, dan... selalu membuatnya terbang.  
“Pasti dari kak Ari” tebak Geo menggoda Tari yang sedari tadi senyum-senyum aneh.
“Apaan sih” Pipi Tari semakin bersemu merah karena malu. Kalau ada Ari bersamanya sekarang, dan melihat reaksi Tari, sudah pasti 100% Ari akan mencubit gemas pipi Tari, dan mengacak-acak poninya.
Tari lalu menghabiskan sisa-sisa makanannya, dengan sisa-sisa senyum yang masih tersisa.

ïïï

“Lima menit lagi, sayang.... Iyaaa, semuanya ada kok.... Fio? Dia sama Oji di jok belakang.... Ok” Ari menutup telepon dari Tari, lalu kembali fokus menyetir everest hitamnya. Oji, Fio, dan Ridho berjejer duduk di belakang. Tempat di sebelah Ari sengaja kosong, karena itu tempat khusus untuk Tari. Ari sudah mengancam sedari tadi agar tak ada yang duduk di tempat di sebelahnya. Mereka hanya menuruti sambil menahan geli, terutama Oji yang mati-matian membungkam mulutnya.
Tiiiiiiiiiiinnnnnnn............
Suara panjang klakson mobil Ari membuat Tari langsung berlari keluar rumahnya. Ia memang sangat antusias untuk acara jalan kali ini. Maklum saja, tak lama lagi Ari akan kembali meninggalkannya untuk kembali ke Amerika. Tari, mau tidak mau harus mengikhlaskan kepergian Ari.
“Kok lama banget sih?!” bibir Tari mengerucut lucu setelah mobil melaju beberapa meter dari depan rumahnya. Ari, yang menyempatkan menoleh sebentar pada Tari langsung gemas dengan sikap Tari. Ia ingin sekali mengecup bibir lucu itu. Namun segera ia urungkan keinginannya, mengingat ada banyak saksi mata yang sudah ikut menahan tawa di belakangnya.
“Sudirman tadi agak macet, Tar, jadi lama” Ridho menjawab pertanyaan yang jelas-jelas Tari tujukan pada Ari.
“Dho, lo gak usah kayak gitu dong! Dia cewek gue, kuya! Jadi gini kelakuan lo selama gue pergi ke Amrik??!” Ari pura-pura tersinggung pada Ridho. “Gue sooaakkiiittt hati, Dho. Sakiiiitt rasanya lo kayak gini di belakang gue” Ari melanjutkan joke-nya dengan intonasi yang seolah-olah teramat pahit menerima kenyataan. Semua ‘penghuni’ mobil berbadan besar itu sontak tertawa mendengar ‘improvisasi’ dari Ari. Bahu Tari bahkan sampai terguncang, tak sadar kekasihnya bisa sampai segila itu.
“Lo gak usah se-pias itu, Bos. Gue kaaann siap bos buat di poligami sama lo, kapan aja” si Oji malah makin menanggapi joke dari Ari.
Keruhnya wajah Fio saat mendengar joke Oji, membuat semuanya tertawa geli. Ari sampai tergelak hebat. Laju mobilnya bahkan sempat tak beraturan, karena tangan kanannya memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa.
Tari kembali cemberut. “Gue sama siapa doooonng???!!!” suara manjanya menghentikan tawa ke-empatnya. Ari bahkan bisa mendengar, lebih dari sekedar suara manja, dalam nada suaranya tersirat rasa takut kehilangan Ari. Rasa khawatir kalau suatu saat Ari akan lepas dari dirinya. Rasa cemas kalau suatu saat Ari akan tenggelam, dan tak akan bersinar lagi dihatinya.
Ari menatap Tari serius. Ia tersenyum hangat. Kedua mata hitamnya bertemu dengan sepasang mata coklat Tari yang menyorotkan rasa sayang. “Tenang aja, sayang. Gue Cuma sayang sama lo. Gue selalu ngerasa damai tiap kali lo ada sama gue. Mata lo, bibir lo, senyum lo, semuanya selalu bisa nyemangatin gue di Amrik kalo gue lagi suntuk kuliah.  Cuma lo matahari gue, Jingga Matahari” Ari mengedipkan satu matanya. “Gue mohon banget sama lo, Tar. Cukup gue di hati lo, karena gak adil banget kalo ada orang lain di hati lo, sedang hati, pikiran, perasaan gue Cuma terfokus sama Lo” Ari lalu membalikan badannya, kembali berkonsentrasi dengan mobilnya.
Semua yang ada disitu sontak kaget dengan kata-kata Ari. Terpesona dengan apa yang dilakukan Ari untuk mataharinya. Semua bisa merasakan ketulusan serta keseriusan Ari saat mengatakannya. Bukan hanya kata-kata manis dari bibirnya, tapi itu juga suara perasaan dan hatinya.
Tari melongo. Tak percaya Ari akan mengucapkan kata-kata itu. Terlepas dari predikat mantan pentolan SMA Airlangga, itu adalah Ari yang sebenarnya. Ari yang mencoba jujur dengan perasaannya. Ari yang sudah melepas topengnya setelah pencarian serta penantian panjang itu, dan kembali menjadi dirinya sendiri, Matahari Senja.

ïïï

“Akhirnya sampe jugaaa” Tari langsung menghirup udara segar pegunungan sore hari. Tari memejamkan matanya, menghirup lalu mengeluarkan nafasnya berulang-ulang. Ketika membuka matanya, ia tersenyum mendapati Ari yang berdiri di depannya dengan sorot mata yang hangat.
“Langsung ke sana aja yuk” Ridho mengajak mereka ke saung favorit Ari. Saksi bisu tatkala Ari merasa hancur, atau juga saat Ari bahagia.
“Kak, bantuin dong” pinta Fio pada Oji, saat melewati tanah yang licin karena semalam hujan, sedangkan jalan untuk menuju ke saung itu menanjak dan tak beraturan. Oji dengan sigap langsung memegangi tangan Fio, dan dengan setia menutun Fio. Sikap Oji langsung mendapat reaksi ‘batuk sinteron’ dari Ridho. Oji dan Fio hanya diam. Muka keduanya sudah sama-sama bersemu merah. Oji bahkan sempat meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ciri khas orang salah tingkah. Sedang Fio, ia tak berani menatap Oji. Pada langkah ke 29, mereka akhirnya sampai juga di saung favorit Ari itu. Mereka duduk berjejer dengan posisi yang sama, menghadap langit barat yang mulai berwarna oranye.
Diantara kelimanya, hanya Ari dan Tari yang tampak sangat serius mengiringi kepergian Raja Langit itu untuk menerangi belahan bumi yang lainnya. Oji, Ridho, dan Fio hanya bisa manggut-manggut karena terpesona dengan peristiwa alam yang sudah sering disaksikannya itu.
Sudah puluhan kali Ari dan Tari menyaksikan moment dimana namanya berasal. Langit berwarna jingga itu selalu membuat damai keduanya. Setelah beberapa lama, langit mulai menghitam, menandakan Dewa Langit telah pulang ke peraduannya. Ari menoleh ke arah Tari yang ada disebelahnya, lalu tersenyum menatap dua mata coklat Tari. Tari membalas senyum itu dengan menyuguhkan senyum termanisnya, untuk matahari yang tetap bersinar di hatinya, walau matahari dalam perwujudan setiap orang sudah berpindah ke belahan dunia lain.
Ari membalik, mencondongkan badannya pada keempat temannya.
“Ehmm. Tolong dong, gue...”
Ucapan Ari terhenti, karena Oji langsung mengerti kelanjutannya. “Iya, Bos. Gue ngerti. Kita-kita gak bakal ganggu lo kok. Yuk, kita pergi”
Oji merangkul pundak Fio meninggalkan dua matahari itu. Ridho hanya mengikuti keduanya dengan bibir mengerucut.
“Eeett daaah. Diajak mau jalan bareng, malah akhirnya ya pacaran sendiri-sendiri. Merana bangeeeett malem-malem gini ditengah pasangan-pasangan yang lagi gedebuk cintrooong” sindir Ridho sebelum meninggalkan Ari dan Tari berdua di tempat favorit Ari.
Ari mendekatkan tubuhnya ke arah Tari, membuat Tari tak berkutik untuk menolak. “Tar...”
“Hm?” Tari menaikan satu alisnya, bingung akan menjawab apa.
“Gue sayang sama lo” suara Ari lirih, sangat lirih. Hanya Tari yang bisa mendengarkan suara itu. Hanya Tari yang bisa mendengarkan, sekaligus menangkap adanya ketulusan serta kesungguh-sungguhan dalam nada suara Ari. Tari sempat heran juga, bagaimana bisa kekasihnya itu bisa menjadi siswa dengan berentet predikat buruk, sedangkan untuk menyuarakan kata hatinya saja bisa selirih ini?
“Tar, gue belum pernah ngomong seserius ini kan sama lo? Belum pernah seserius ini kan sama lo? Ini karna gue tulus, bener-bener apa yang ada di dalem hati gue. Lo percaya kan sama gue?”
Tari terdiam, lalu sedetik kemudian ia terkekeh geli. Ari biarkan beberapa detik untuk Tari menyelesaikan tawanya. Namun, tawa Tari tak kunjung reda. Hal ini membuat Ari lama-lama keki. Siapa yang gak keki coba kalo lagi ngomong serius banget, tapi langsung direspon ketawa yang gak berhenti-henti??!
Ari tak habis pikir dengan reaksi Tari. Reaksi yang 1800 berbeda dengan apa yang ia harapkan.  “Lo kok ketawa sih, say?!”
“Sori, Ri, Sori...” kata Tari setelah tawanya reda. “Gue gak nyangka aja mantan pentolan sekolah kalo ngomong bisa kayak gini. Ini bukan lo yang biasanya, Ri”
Ari mendecakan lidahnya berkali-kali. “Ck. Ck. Ck. Itu buat PR aja deh, Tar. Gue lagi gak pengen bahas masalah itu." balas Ari mati kutu. Mati gaya. Salah tingkah.
“Nah terus apa yang mau lo omongin, sayang?” Tari memberi penekanan pada kata ‘sayang’.
“Lo tau kan kalo besok gue pulang ke Amrik?”
“...” tak ada reaksi dari Tari. Apa yang dia khawatirkan kini terjadi. Sejak tadi di rumah, Tari berharap kalau Ari tak menyinggung soal kepulangannya ke Amerika. Karena menurutnya, pertemuannya dengan Ari kali ini adalah perpisahan untuknya dan mataharinya, karena besok, Ari harus sudah kembali ke Amerika. Dan sejujurnya, Tari tak siap dengan segala hal menyangkut perpisahan Ari. Sama sekali tak siap untuk menjalani hidupnya tanpa matahari yang selalu tersenyum dan bersinar untuknya.
“Kalo aja bisa, Tar, gue gak mau pulang ke sana. Tapi, yaahh. Whatever. Itu udah impian nyokap gue, Tar. Sejujurnya, gue gak mau pisah sama lo....”
“...”
“Jingga Matahari... Udah lama kita pacaran, tapi gue bahkan belum pernah denger apa yang lo rasain waktu gue harus pergi ke Amrik. Apa yang lo rasain, Tar?”
Mau tidak mau Tari harus menjawab. Ia menelan ludah. Bimbang, antara harus mengakui atau berbohong pada matahari didepannya. Tari memejamkan matanya, berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak tumpah saat ini juga. “Sej.. Jujurnya... Gu.. gue... juga eng..gak.. bisa relain lo git..tu aj..ja, Ri” Tari menelan ludah, menyesali dalam hati mengapa pada saat seperti ini malah ia tak dapat berkata lancar. Ari bungkam. Ia masih menunggu kelanjutan cerita Tari. Matanya terarah lurus pada mata coklat Tari, berusaha mencari kejujuran dalam sorot matanya.
Tari kembali melanjutkan ceritanya, “Pulang dari bandara, gue nangis didepan Fio. Di depan kak Oji, juga kak Ridho” Tari menghentikan kata-katanya, lalu menatap Ari, menunggu reaksi Ari. Ari sebenarnya ingin sekali membuka mulut, namun diurungkannya karena ia masih ingin mendengar setiap detail dari bibir kecil Tari.
“Kalo mau ngomong, ngomong aja” Tari bisa membaca gelagat Ari yang sepertinya ingin sekali berbicara.
“Oke, Oke... Kenapa Fio, Oji, Ridho gak ada yang ngomong sama gue?” tanya Ari akhirnya.
Tari menghela nafasnya, “Gue yang nyuruh mereka tutup mulut. Gue gak pengen kalo lo tau gue nangisin lo, lo jadi uring-uringan di sana. Gue gak mau kuliah lo berantakan. Gue gak mau ngancurin cita-cita nyokap lo”
“...”
“Ri, gue disini selalu mikirin lo. Gue selalu kangen sama tingkah jail lo. Gue kangen mata item lo....” Tari tak dapat menghentikan air matanya. Refleks, Ari menaruh jemarinya di pipi Tari, lalu menyekanya hingga tak ada lagi sisa air mata di pipi Tari.
“Gue sayang banget sama lo, Ri” karena kehilangan kata-kata, Tari akhirnya hanya bisa mengatakan apa yang ia rasakan. Lebih tepatnya, inti dari semua tentang Ari. Inti dari rindunya, tangisnya, senyumnya, dan lainnya untuk mataharinya. Bahwa ia, Jingga Matahari, sangat menyayangi Matahari Senja, cowok yang menyandang nama seperti dirinya.
Tanpa kata pengantar, Ari langsung merengkuh tubuh mungil Tari dalam pelukannya. Dia biarkan air mata Tari membasahi kausnya. Tangan kanan Ari yang bebas mengusap-usap rambut panjang Tari dengan rasa sayang. Tari yang masih terbuai dalam pelukan Ari, tak menyadari kalau Ari sempat meneteskan butir kristal beningnya. Ari langsung mengerjapkan matanya. Ia tak ingin Tari menjadi ikut sedih, karena biar bagaimanapun juga ini adalah pertemuannya dengan Tari untuk terakhir kali, sebelum ia kembali dua tahun lagi.
“Aku. Sayang. Kamu. Jingga Matahari” Ari mengeja satu demi satu kalimat itu tepat di telinga Tari.
Tari melepaskan tubuhnya dari rengkuhan Ari. Ia menatap mata hitam Ari yang tersenyum padanya.
Ari tampak mencari-cari sesuatu dalam saku jaketnya. Saat dirasa tangannya menyentuh sesuatu, ia mengambil itu dan menyerahkannya pada Tari.
Alis Tari bertaut “Apa?”
“Buka aja” Mata Ari berkilat misterius. Saat Tari membuka kotak itu, mata Tari kontan melebar. Ia menatap Ari yang sedang menikmati keterkejutannya.
Tari menganga tajub. “Ini buat gue?” tanyanya memastikan.
“Iya. Kenapa? Lo gak suka?”
“Ya Ampuuuunnn Ariiii. Mana mungkin gue gak suka??!” Tari mengambil kalung berliontin matahari yang ada di dalam kotak itu. Kalung yang sangat indah. Elegan. Dan, tentu saja.... sangat mahal, karena Tari tau, kalung itu bukan kalung biasa. Kalung itu sangat berkilau. Sepertinya, itu bukan berasal dari batu biasa.
“Ini kalung dari apa, sayang? Indah banget lho” masih dengan ketakjubannya, Tari menatap mata Ari. Agak takut juga sih, soalnya mata Ari kan tajem banget.
“Ini bukan kalung biasa” Ari menjelaskan dengan nada suara yang lembut sekali, mirip seperti guru sedang menjelaskan cara menentukan persamaan garis dan aritmetika pada murid yang belum mengerti. “Itu kalung dari batu Rubby, Tar. Jaga baik-baik yaa” Ari mengusap-usap puncak kepala Tari dengan lembut, dengan sayang.
Tari terkejut. Batu Rubby? Itu kan mahal bangeeeeeettt!!!! “Batu Rubby, Ri? Astagaa... itu mahal banget” Tari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lebay deh. Ini sengaja gue pesen buat lo, Tar. Kapan gitu, gue lupa, gue sengaja pesen kalung itu ke Yunani. Gue bela-belain, demi lo”
“...”
“Soal kalung itu enggak penting, Tar. Yang jelas, ini Cuma tanda aja. Gue Cuma pengen, kalo kalung ini dipake sama lo. Jadi, gue ngerasanya kalo gue tetep sama lo. Nanti, Tar, kalo gue udah pulang dari Amrik, gue pengen banget kalo kalung ini masih ada sama lo” Ari mengambil kalung itu, lalu memakaikan kalung itu pada Tari. Tari hanya diam. Terharu. Setelah Ari selesai memakaikan kalung itu, Tari serta-merta langsung memeluk Ari. Entah mengapa, tapi yang jelas Tari ingin sekali memeluk Ari.
Cukup lama Tari memeluk Ari. Ari hanya bisa membalas pelukan Tari, karena ia sadar, saat ini Tari benar-benar melakukannya dengan hatinya.
Ari melepaskan pelukan Tari, yang hanya disambut dengan sorot mata kecewa oleh Tari. Ari mendekatkan wajahnya ke arah Tari. Dekat... Dekat... Dekat... dan, hanya ada 5cm jarak diantara keduanya. Mata hitam Ari memandang lekat-lekat mata coklat Tari. Ari kembali mendekatkan wajahnya, hingga kini hidung mereka bersentuhan. Tari memejamkan matanya. Ia tau apa yang akan dilakukan kekasihnya. Lalu..... cup... Ari mengecup lembut kening Tari. Tari bisa merasakan, kalau saat ini pipinya memanas. Ini memang bukan pertama kalinya Ari mengecup keningnya. Tapi, bisa Tari rasakan banyak sekali rasa dalam kecupan itu. Rasa sayang memang salah satu dari seluruh rasa itu, tapi Tari sadar, rasa sedih dan takut justru paling dominan diantara seluruh rasa.
Cukup lama Ari mengecup kening Tari. Kalau saja bisa, ia tak akan pulang lagi ke Amerika. Long distance is killing he!!!
Ari melepas kecupannya, tapi tak menjauhkan wajahnya dari Tari. Tanpa Tari bisa duga, tiba-tiba bibir Ari sudah bertaut dengan bibir miliknya. Hanya sedetik memang. Tapi sedetik itu menjadi moment yang mengesankan. Sedetik yang membuat pipi Tari merona, dan sedetik yang membuat degup jantungnya tak beraturan. Tari sadar, sedetik itu juga luka untuk dirinya, dan mataharinya. Sedetik itu mungkin adalah kecupan terakhir dari Ari, yang mereka tak tau kapan bisa kembali merasakan sedetik berharga itu.
Ari memeluk tubuh mungil Tari. Lama, sangat lama. Ari melakukannya seolah ini adalah pelukan terakhirnya untuk Tari. Tari tau persis, ini adalah pelukan yang sarat akan seluruh luka dalam hati Ari. Tari sadar, sangat sadar kalau selama 2 tahun ini, ia pasti akan sangat merindukan Ari. Sangat merindunya.
Mereka berdua tak tau, dari jarak yang tak terlalu jauh, Oji, Fio, dan Ridho tengah mengamati mereka. Fio bahkan sempat meneteskan air matanya, yang langsung dengan sigap diseka oleh jemari Oji. Ridho hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan dua sahabat karibnya.
“Cinta emang gila. Ck.” Gumam Ridho dan tak henti-hentinya menggelengkan kepalanya dan mendecakan lidah.


ïïï


Hari kepulangan Ari ke Amerika.

Sudah lima belas menit Tari mondar-mandir dengan irama kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri persis seperti setrikaan. Fio, yang melihat kegelisahan Tari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gue pusing liat lo, Tar” Fio membuka suaranya, setelah langkah Tari yang ke 88. Tari menghentikan aksinya, lalu ikut duduk di tepi ranjang, berjejer dengan Fio. Tari hanya diam, membisu ditempatnya.
“Tar, berangkat yuk. Kak Ari pasti udah nungguin”
Tari masih bergeming ditempatnya. Matanya menerawang. Air mata bahkan sudah terlebih dahulu turun tanpa bisa dicegahnya.
“Tar...” Fio membuyarkan lamunan Tari.
“Apa, Fi?” suara Tari sangat lemah, juga serak karena sejak semalam ditambah pagi ini ia terlalu banyak menangis.
“Ke bandara, yuk. Bentar lagi terbang nih”
Tari menggeleng kuat-kuat “Enggak, Fi. Gue gak mau nangis di bandara. Gue gak siap buat lepasin Ari. Gue....” Tari tak dapat meneruskan alasannya, karena sudah lebih dulu tangisnya pecah.

Sementara itu, Di Bandara...

Ari berulang kali melihat ke arah jam tangannya. Gelisah, cemas, dan takut kalau mataharinya tak juga datang. Mamanya dan Ata yang duduk tak jauh dari Ari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Udahlah, Ri, dia pasti dateng” hibur Oji seraya menepuk pundak Ari, menenangkan sahabatnya. Ridho sebenarnya ingin sekali menelepon Tari, untuk memastikan kedatangannya. Tapi, Ari mencegah Ridho, dengan alasan ia ingin Tari datang untuk bertemu terakhir kalinya dengan Ari atas kemauan hatinya sendiri, bukan karena paksaan Ridho.
Mama Ari yang tak tega melihat anaknya gelisah seperti itu, langsung membujuknya untuk ke ruang boarding, karena lima menit lagi pesawat akan take off.
“Ri, udahlah. Pesawat lo gak akan mau nungguin satu penumpang kayak lo. Mending lo ke boarding dulu gih. Ntar kita-kita kontak lo kok kalo Tari dateng” Ata juga ikut membujuk Ari, yang di-iyakan oleh Oji, Ridho, dan mamanya.
“Iya yah? Gue kok bego banget. Dia juga gak akan dateng. Udah kurang lima menit gini” Ari mendecakan lidahnya. Ia lalu mengambil satu travell bag yang ada di sebelahnya. Dalam hati, ia masih berharap kalau Tari akan datang.
“Yaudah, Ma, Ta, Dho, Ji, gue pergi dulu ya. Baik-baik lo semua. Mama juga, jangan lupa makannya ya, Ma. Ji, Dho, Ta, tolong ya...” ucapnya pedih. “Tolong jagain dia” lirih, sangat lirih saat Ari mengucapkan kalimat terakhir yang jelas ditujukan untuk Tari. Ata, Ridho, dan Oji hanya menganggukkan kepala, mengerti akan kesedihan Ari. Ari lalu memeluk mamanya untuk terakhir kali. Bergantian, ia juga memeluk Ata, Oji, dan Ridho. Ia yakin sekali di Amerika, ia akan kembali merindukan Ata, Oji, dan Ridho. Juga Tari...
Ari melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruang boarding. Antrean cuku panjang rupanya, sehingga Ari masih harus mengantre cukup lama. Jauh dalam hati Ari, ia memang sangat mengharapkan keberadaan Tari. Tapi, ia sadar kalau dalam waktu seperti ini Tari tak akan datang. Kalau Tari datang, adegan itu hanya ada di dalam sinetron.
Tiba waktunya Ari untuk mengecek paspor dan keperluan lain. Ia menyempatkan melihat ke arah mamanya, saudara kembarnya, dan dua sahabatnya. Ari tersenyum ke arah mereka, walau mereka tak akan mungkin bisa melihatnya. Ari mendesah kecewa, karena ia tak juga menemukan Tari ada diantara mereka.
Selesai mengecek, Ari segera masuk ke dalam ruang boarding. Ia sengaja memilih waktu lima menit sebelum take off, karena tak ingin berlama di dalam ruang boarding. Selang dua menit Ari di ruang boarding, ia segera naik ke peswatnya, karena pesawatnya sudah siap untuk mengantarnya ke Amerika.
“Lo bahkan gak dateng, Jingga Matahari...” gumam Ari dalam hati.

ïïï

“Kak Oji...!!” Oji menghentikan langkahnya saat akan menuju ke parkir mobil Ridho, saat dirasanya ada yang memanggilnya. Suara yang sangat ia kenal...
“Tari??!” seru mama Ari saat ia melihat gadis dengan accesories oranye melekat ditubuhnya, bersama Fio yang berlari mengejar Tari.
Tari dan Fio bersamaan mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. “Ari mana?!” Tanya Tari setelah berhasil mengatur nafasnya.
“Ari udah take off, baru aja” Ata yang menjawab pertanyaan Tari. Semua yang ada disitu menatap Tari dengan prihatin, termasuk Fio. Fio sebenarnya sudah tau kalau Ari sudah take off karena Oji tadi sempat mengiriminya sms. Tapi, Fio tak memberitahu Tari karena takut Tari akan menagis di taksi.
Tari memejamkan matanya, membiarkan air matanya turun. Ia menyesal dalam hati, seandainya saja ia datang lebih awal...
“Udah, Tar. Ayo, ke rumah tante dulu. Nangis-nya disana aja, ya. Fio, kamu ikut sama tante ya” Tari mengikuti saja saat mama Tari merangkulnya menuju mobil Ridho. Jalannya lambat, karena bisa ia rasakan tubuhnya sudah tak berjiwa.

ïïï

“Jadi gitu tante ceritanya...” Tari menghela nafasnya, setelah menceritakan mengapa ia datang terlambat saat pesawat Ari sudah take off. Saat bercerita, suara Tari sangat lirih, sehingga banyak yang harus mendekatkan wajahnya ke arah Tari. Sesekali juga suaranya tak bisa didengar. Tak jarang pula ia berhenti bercerita karena tak sanggup menahan tangisnya. Mama Tari sangat mengerti akan perasaan Tari, karena baginya, Matahari ini adalah kembar ketiga dari anak-anaknya.
Mereka semua berkumpul di rumah Ari. Oji, Ata dan Ridho hanya manggut-manggut mendengar cerita Tari. Sedangkan Fio, ia hanya bisa menatap Tari dengan sorot mata prihatin.
“Minum dulu, Tar. Biar lebih enakan” Tari menerima satu gelas air dari Ridho, lalu meneguknya tanpa semangat. Semua yang ada disitu bisa merasakan kesedihan Tari. Ata sebenarnya ingin sekali memeluk matahari didepannya ini, namun ia urungkan karena ada dua sahabat Ari diantara mereka.


Di dalam pesawat...

Ari tak henti-hentinya mendengarkan lagu Aku Pasti Kembali milik Pasto dari headset I-Pod nano warna biru muda miliknya. I-pod itu adalah hadiah dari Tari, saat ulang tahunnya ke 18, tahun lalu. Ari menyandarkan tubuhnya pada tempat duduk pesawat. Matanya terpejam, sangat merasakan setiap emosi dalam barisan lirik itu. Ingin sekali di sentuhnya mataharinya untuk terakhir kali. Tapi... Mataharinya bahkan tak datang pada saat-saat terakhir. Ari hanya bisa menelan semua kesedihannya. Ini kesedihannya, jadi, ia biarkan dirinya sendiri yang merasakannya. Mati-matian Ari menahan air bening itu agar tak jatuh, tapi akhirnya... Bulir-bulir air mata itu jatuh juga.  Air mata itu adalah segala sumber lukanya. Air mata itu juga adalah sumber segala kerinduannya. Darinya, untuk seseorang yang menyandang nama seperti dirinya, Jingga Matahari.

Waktu tlah tiba aku kan meninggalkan
Tinggalkan kamu, tuk sementara
Kau dekap aku, kau bilang jangan pergi
Tapi ku hanya dapat berkata
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal,
Aku pasti kembali...
Kau peluk aku
Kau ciumi pipiku
Kau bilang jangan aku pergi..
Bujuk rayumu buat hatiku sedih
Tapi ku hanya dapat berkata
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal
Aku pasti kembali
Apa bila nanti kau rindukanku didekapmu
Tak perlu kau risaukan..
Aku pasti akan kembali....

ïïï

Tari masih menangis. Setelah dari rumah Ari, di dalam mobil Ridho dalam perjalanan pulang, Tari menangis dalam pelukan Fio. Baik Fio, Oji, maupun Ridho sudah berusaha menenangkan Tari. Oji bahkan sempat berpikiran untuk memberi tau Ari, tapi dicegah oleh Tari. Tari tak ingin kalau di Amerika kekasihnya menjadi terus-terusan kepikiran dirinya.
Sampai malam ini-pun, Tari masih menangis. Fio-lah orang yang menjadi ‘sampah’ dari air mata Tari, karena Tari malam ini menginap dirumah Fio. Fio tak tega melihat Tari yang terus-terusan menangis. Maka, saat Tari terlelap, Fio mengambil handphone-nya dan menelpon Oji.
“Ada apa, Fi?” tanya Oji dari seberang.
“Tari kak. Dia nangis terus di rumahku” Fio menjawab dengan berbisik, takut Tari terbangun.
“Cerita di telpon gak aman kan? Aku ke rumah kamu, Fi” tanpa menunggu jawaban Fio, Oji langsung menutup telpon. Fio hanya bisa melongo, sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Tu anak sama aja kayak kak Ari. Bos sama jongos gak jauh beda” sungut Fio sebal. Walau yaaah, tak dapat dipungkiri, Fio merasa senang dengan sikap Oji yang care dengan dirinya.
Fio langsung naik ke motor Oji, setelah ia mendengar suara motor Oji didepan rumahnya. Sebelumnya, ia mengecek keadaan Tari, memastikan sahabatnya tetap tertidur pulas.
“Tari nangis lagi?” komentar Oji setelah Fio menyelesaikan ceritanya. Mereka sudah ada di taman tak jauh dari rumah Fio. Mama Fio memang hanya memberi izin agar pergi tak jauh-jauh. Sebenarnya, pantangan bagi beliau untuk memberi Fio izin keluar malam-malam. Tapi, begitu tau siapa yang mengajak Fio pergi, mama Fio langsung setuju dengan syarat tak boleh jauh-jauh dan lama-lama.
“Iya, kak. Udah seharian ini dia nangis terus. Aku sampe repot nenanginnya. Tadi sebelum aku nemuin kakak, aku sempet nge-cek keadaan Tari. Kasian banget si Tari. Dia ngigau gitu kak” Fio mendesah pelan. Mata Oji membulat seperti bakso. Dulu, saat ditinggal pergi Ari ke Amerika, Tari memang sempat nangis. Tapi itu-pun tak bertahan lama. Tapi sekarang?!
Oji serta-merta langsung melingkarkan tangannya ke bahu Fio. “Ngigau apa, Fi?”
“Dia ngigau nyebut-nyebut nama ‘Matahari Senja’ gitu. Aku kasian banget sama Tari. Gak nyangka dia bisa sampe segitu downnya”
“Ck. Kamu juga pasti ntar kayak gitu deh kalo aku tinggal pergi kemana gitu” Fio mengernyit heran. Kenapa tiba-tiba jadi mbelok gini??!
“Lho? Kok jadi ngomongin kakak sih?!”
Oji terkekeh geli. Ia lalu melepaskan tangannya, kemudian berbalik menghadap Fio. Dia langsung menatap Fio tepat di matanya.
“Gak papa, Fi. Ntar kalo aku pergi, kamu nangis-nangisan kayak si Tari gak?” tanya Oji serius. Matanya masih menatap sepasang mata belo milik Fio lekat-lekat.
Fio bingung, tak tau harus menjawab apa. “Masa sih gue harus jawab kalo gue nangisin dia? Ntar dia ke-GR-an lagi.” Kata Fio dalam hati. Ia tak menjawab pertanyaan Oji.
“Gak jawab? Berarti jawabannya iya nih?” goda Oji membuat pipi Fio bersemu merah. Oji menatap semburat merah di pipi Fio dengan gemas. Ingin sekali ia mencubit pipi Fio.
“Iiiiihh ya gak gitu lah!! Emang aku siapanya kakak sampe harus nangisin gitu??!” sungut Fio sebal, tapi senang karena Oji bisa menebak pikirannya.
“Sekarang emang belum, tapi bentar lagi pasti jadi my girlfriend” jawab Oji kalem, masih tak melepaskan pandangannya dari mata Fio. Jawaban Oji yang tak terduga itu, membuat jantung Fio menjadi tak karuan. Bahkan mungkin, Oji bisa mendengar degup jantungnya. Fio tak menanggapi kata-kata Oji, karena masih bingung dengan arti kata-katanya.
“Itu tadi nembak apa bukan sih???!!” tanya Fio dalam hati. Tak bisa berbohong, kata hatinya berbicara kalau ia sangat senang mendengar kata-kata Oji. Fio bahkan merasa dirinya sedang mimpi. Kalau itu mimpi, sungguh, ia tak ingin mimpi itu cepat berakhir. Untuk meyakinkan kalau itu bukan mimpi, Fio mencubit tangannya sendiri.
“Ini bukan mimpi, sayang” komentar Oji setelah mendengar Fio menjerit kesakitan. Ia tau gelagat Fio yang sedang meyakinkan dirinya sendiri kalau ini bukan mimpi.  Sayang! Satu kata itu terus-terusan membuat Fio tersenyum semalaman. Kayaknya dosen di kampus perlu sujud di kaki Oji nih . Pelajaran dosennya aja kadang ga pernah sekalipun nyangkut di otaknya. Tapi kata-kata Oji bahkan bisa selalu terngiang dan membuatnya tersenyum sendiri.
                                                              
ïïï

“Dari tadi kok senyum-senyum terus, Fi?” Tari curiga juga mendapati Fio dari tadi subuh sampe sekarang mau ke kampus senyum-senyum terus.
Fio, yang memang tak suka memendam cerita sendiri lalu menceritakan kisahnya pada Tari. Tak mungkin cerita seindah ini ia simpan sendiri.
Tari langsung histeris setelah mendengar cerita Fio. “Kyaaaaaa. Itu nembak, Fiooo. Akhirnya lo jadian sama dia juga, Fi” Fio hanya tertawa mendengar reaksi Tari.
Orang yang sedang menjadi topik pembicaraan tiba-tiba muncul di depan Tari dan Fio. Oji dan Ridho memang kuliah di satu Universitas yang sama dengan Tari dan Fio.
“Lagi ngomongin gue ya?!” desak Oji tiba-tiba. Telak! Pipi Fio kontan bersemu merah.
“Tar, cabut aja yuk. Gak enak nih gangguin mereka berdua” Ridho menimpali, lalu menggandeng tangan Tari menjauhi Oji dan Fio. Oji dan Fio masih berdiam ditempatnya.
“Duduk sana yuk, Fi” Oji mengamit tangan Fio, lalu mengajaknya duduk di bangku taman kampus.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Detik-detik berlalu dengan kebisuan. Hingga di detik ke delapan, Oji akhirnya membuka suaranya “Fi..” ucapnya pelan. Ini jelas bukan suara Oji yang biasa.
“Iya kak?” Fio heran juga mendengar suara Oji yang sangat lirih. Oji tak menjawab. Kini, ia mengerti kenapa banyak teman cowoknya yang lebih memilih ‘nembak’ lewat sms atau telpon. Karena itu semua butuh keberanian yang besar! Oji meyakinkan hatinya, menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Fio jadi curiga,  jangan-jangan malah Oji baru saja berlari dari depan bundaran HI sampai ke kampus!
“Gue... sebenernya suka sama lo” Oji bersorak kegirangan dalam hati, karena akhirnya ia bisa dengan lancar menyuarakan kata hatinya. Fio seketika terperangah, tak menyadari akan apa yang akan diucapkan jongos Ari ini.
“Fi, lo mau gak jadi Matahari gue?” belum sempat Fio mencerna perkataan Oji tadi, kali ini Oji sudah mengatakan to the point.
“Eh?” hanya itu yang dapat Fio katakan, karena saat ini memori otaknya kehilangan seluruh perbendaharaan kata yang ia miliki.
“Lo mau jadi pacar gue?”
Tetap tak ada reaksi dari Fio. Ia masih sibuk mencerna kata-kata Oji.
Keterdiaman Fio membuat Oji gerah “Lo kenapa sih? Lo gak mau jadi pacar gue? Lo suka kan sama gue?!” telak! Pipi Fio memerah seketika.
“Apa?! kak Oji tau darimana kalo aku suka sama kakak??!” Fio menjawab dengan panik, hingga tanpa pikir panjang mengeluarkan kata yang jelas sangat tidak beraturan. Pertanyaan yang jelas menyuarakan ‘gue suka sama lo’.
Oji terkekeh geli. Lama, dipandanginya cewek disebelahnya yang tengah memandang ke arah lain. Ia yakin sekali kalau pipi Fio sudah sangat merah.
“Bener kan, lo suka sama gue? Kalo gitu lo mau dong jadi pacar gue?”
“...”
“Fi?”
Fio tak menjawab. Ia lalu membalikan badannya, menatap Oji yang sedang menunggu penuh harap kepadanya. Tanpa kata pembuka, atau penjelas, Fio tersenyum, lalu menganggukan kepalanya pelang. Senyum malu-malu masih menghiasi wajahnya. Oji menghembuskan nafas lega, lalu refleks memeluk tubuh Fio karena saking girangnya.
Tari dan Ridho yang melihat dari kejauhan hanya bisa menahan senyumnya agar tak pecah menjadi tawa. Adegan yang —sumpah!— konyol banget! Fio dengan mukanya yang malu-malu, dan Oji yang girang banget kayak orang gila!
“Ck. Gue bahkan belum pernah ngeliat Oji segirang ini, Tar” gumam Ridho menahan tawanya.
“Ho-oh” Tari membekap mulutnya dengan satu tangan, karena sudah tak bisa menahan tawanya.
ïïï

Ari sampai di Amerika esok malam. Hal pertama yang ia lakukan adalah menelepon Tari. Ia ingin menanyakan mengapa Tari tak juga datang di bandara saat ia akan pulang ke Amerika. Lama Ari menunggu telpon tersembung. Maklum, Amerika-Indonesia bukan jarak yang dekat.
“Halo, Ri?” suara diseberang sana membuat Ari seketika tersenyum. Suara itu... Suara yang sangat ia rindukan, walau baru sehari tak mendengarnya. Gimana dua taun yah?!
“Hai, Tar. Sori baru kontak. Lo baik-baik kan?”
“Iya, baik-baik aja. Lo juga kan? Eemmm, sori, Ri...” Tari menghentikan ucapannya sebentar. “..Gue telat waktu ke bandara. Abisnya, gue dirumah udah nangis duluan. Waktu ke bandara, pesawat lo baru aja take off” ucap Tari penuh penyesalan. Mengingat itu membuat air mata Tari tanpa bisa dicegah sudah turun dari pelupuk matanya. Ia merasa telah melakukan kesalahan besar. Ia merasa sudah melukai Ari. Lebih dar itu, Tari sangat menyesal. Andai saja waktu itu ia ada di bandara. Tentu saja ia tak perlu sampai se-menyesal ini.
“Tar? Lo kok nangis?” Ari cemas begitu diseberang Tari tak menjawab. Yang terdengar hanya suara isak tertahan pacarnya. Ari juga berusaha mencegah agar air matanya tak jatuh. Sulit. Sangat sulit baginya untuk jauh dari Tari.
“Gue kangen lo, Ri” lirih. Sangat lirih ketika Tari mangatakan kalimat itu. Suara yang sangat lirih, namun sarat akan kesungguhan didalamnya. Ari hanya bisa menghembuskan nafasnya ketika mendengar mataharinya merindukannya. Ari bisa dengan jelas menangkap makna dari suara sengau Tari. Suara yang sangat jelas menunjukan kalau Tari sedang menangis.
“Gue juga, Tar. Tapi sabar aja, ya. Lo, gue, pasti bisa ngelewatin ini semua. Gue bakal balik lagi kok, Tar....”
Mengobrol panjang lebar dengan Tari, menenangkan tangisnya, mengucapkan berbagai variasi kata-kata rindu, membuat Ari semakin digerogoti rasa sakit. Rasa sakit ketika ia harus jauh dari orang yang ia sayang. Rasa sakit yang masih sangat akrab dengannya. Rasa sakit yang sama, seperti rasa sakit ketika umurnya delapan tahun. Diseberang, Tari masih harus menyeka airmatanya. Selalu seperti ini. Saat Ari jauh darinya, Tari tak kuasa menahan airmata yang tiba-tiba saja sudah mengalir turun.
ïïï

“Ata?” kening Tari berkerut samar ketika melihat everest hitam terparkir didepan rumahnya, esok hari. Ia terkejut mendapati mobil berbadan besar itu sudah menyesaki jalan depan rumahnya. Hari masih pagi, dan Tari baru saja terbangun dari tidurnya. “Ngapain Ata sepagi ini ke rumah gue?” tanya Tari pada dirinya sendiri.
Tari cepat-cepat berlari keluar rumah, tanpa mengganti pakaiannya. Di luar, ia tambah bingung lagi mendapati Ata sedang mengobrol di teras rumah bersama mamanya.
Mama Tari langsung berdiri, begitu melihat Tari. Mama Tari pergi mennggalkan mereka berdua.
“Kakak ngapain pagi-pagi begini di rumah saya?” Tari menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Ata.
Ata hanya tersenyum simpul “Jalan yuk?”
Tanpa menunggu jawaban Tari, Ata segera mengamit satu lengan Tari. Membawanya ke everest hitam yang terparkir di depan rumah Tari.
“Mau kemana sih, kak?” Tanya Tari begitu Ata menginjak gas, meliukan mobilnya diantara hiruk-pikuk kota Jakarta.
“Ke tempat dimana langit terasa dekat” Ata terkekeh geli begitu melihat reaksi Tari yang keheranan atas jawabannya.
Melihat kening Tari yang berkerut, Ata lalu menjelaskan “Gue mau ngajak lo main ke  atap kantor bokap gue, Tar”
“Ooh. Kirain kemana” jawab Tari pendek.
Keduanya terdiam. Tak ada percakapan di dalam mobil itu. Baik Ata maupun Tari masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri, hingga kebisuan mendominasi ruang kosong mobil berbadan besar itu.
Ata memarkirkan mobilnya di sebuah tempat parkir gedung Advertising besar. Tari tau kalau ini kantor Papa Ata dan Ari, karena Ari pernah mengajaknya kesitu. 


3 komentar: